Cinta, di banyak waktu dan peristiwa orang selalu berbeda mengartikannya. Tak ada yang salah, tapi tak ada juga yang benar sempurna penafsirannya. Karena cinta selalu berkembang, ia seperti udara yang mengisi ruang kosong. Cinta juga seperti air yang mengalir ke dataran yang lebih rendah. Tapi ada satu yang bisa kita sepakati bersama tentang cinta. Bahwa cinta, akan membawa sesuatu menjadi lebih baik, membawa kita untuk berbuat lebih sempurna. Mengajarkan pada kita betapa, besar kekuatan yang dihasilkannya. Cinta membuat dunia yang penat dan bising ini terasa indah, paling tidak bisa kita nikmati dengan cinta. Cinta mengajarkan pada kita, bagaimana caranya harus berlaku jujur dan berkorban, berjuang dan menerima, memberi dan mempertahankan. Bandung Bondowoso tak tanggung-tanggung membangunkan seluruh jin dari tidurnya dan menegakkan seribu candi untuk Lorojonggrang seorang. Sakuriang tak kalah dahsyatnya, diukirnya tanah menjadi sebuah telaga dengan perahu yang megah dalam semalam demi Dayang Sumbi terkasih yang ternyata ibu sendiri. Tajmahal yang indah di India, di setiap jengkal marmer bangunannya terpahat nama kekasih buah hati sang raja juga terbangun karena cinta. Bisa jadi, semua kisah besar dunia, berawal dari cinta.

Cinta adalah kaki-kaki yang melangkah membangun samudera kebaikan. Cinta adalah tangan-tangan yang merajut hamparan permadani kasih sayang. Cinta adalah hati yang selalu berharap dan mewujudkan dunia dan kehidupan yang lebih baik. Dan Islam tidak saja mengagungkan cinta tapi memberikan contoh kongkrit dalam kehidupan. Lewat kehidupan manusia mulia, Rasulullah tercinta. Ada sebuah kisah tentang totalitas cinta yang dicontohkan Allah lewat kehidupan Rasul-Nya.
Pagi itu, meski langit telah mulai menguning, burung-burung gurun enggan mengepakkan sayap. Pagi itu, Rasulullah dengan suara terbata memberikan petuah, "Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah kepada-Nya. Kuwariskan dua hal pada kalian, sunnah dan Al Qur'an. Barang siapa mencintai sunnahku, berati mencintai aku dan kelak orang-orang yang mencintaiku, akan bersama-sama masuk surga bersama aku." Khutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasulullah yang teduh menatap sahabatnya satu persatu. Abu Bakar menatap mata itu dengan berkaca-kaca, Umar dadanya naik turun menahan napas dan tangisnya. Ustman menghela napas panjang dan Ali menundukkan kepalanya dalam-dalam. Isyarat itu telah datang, saatnya sudah tiba. "Rasulullah akan meninggalkan kita semua," desah hati semua sahabat kala itu. Manusia tercinta itu, hampir usai menunaikan tugasnya di dunia. Tanda-tanda itu semakin kuat, tatkala Ali dan Fadhal dengan sigap menangkap Rasulullah yang limbung saat turun dari mimbar. Saat itu, seluruh sahabat yang hadir di sana pasti akan menahan detik-detik berlalu, kalau bisa.
Matahari kian tinggi, tapi pintu Rasulullah masih tertutup. Sedang di dalamnya, Rasulullah sedang terbaring lemah dengan keningnya yang berkeringat dan membasahi pelepah kurma yang menjadi alas tidurnya. Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam. "Bolehkah saya masuk?" tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk, "Maafkanlah, ayahku sedang demam," kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu. Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membukan mata dan bertanya pada Fatimah, "Siapakah itu wahai anakku?"
"Tak tahulah aku ayah, sepertinya ia baru sekali ini aku melihatnya," tutur Fatimah lembut. Lalu, Rasulullah menatap putrinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Satu-satu bagian wajahnya seolah hendak di kenang.
"Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan
pertemuan di dunia. Dialah malakul maut," kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya.
Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tak ikut menyertai. Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini.
"Jibril, jelaskan apa hakku nanti dihadapan Allah?" Tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah.
"Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua surga terbuka lebar menanti kedatanganmu," kata jibril. Tapi itu ternyata tak membuat Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan.
"Engkau tidak senang mendengar kabar ini?" Tanya Jibril lagi.
"Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?"
"Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: 'Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya," kata Jibril.
Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik Tampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. "Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini." Lirih Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril
membuang muka.
"Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?" tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu.
"Siapakah yang tega, melihat kekasih Allah direnggut ajal," kata Jibril. Sebentar kemudian terdengar
Rasulullah memekik, karena sakit yang tak tertahankan lagi. "Ya Allah, dahsyat niat maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku."
Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. "Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanukum, peliharalah shalat dan santuni orang-orang lemah diantaramu."
Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telingan ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan.
"Ummatii, ummatii, ummatiii?" Dan, pupuslah kembang hidup manusia mulia itu. Kini, mampukah kita mencinta sepertinya?

By Awie
http://awie.crimsonblog.com/

Aku tak percaya bahwa aku berhasil mendapatkan impianku. Ku cubit pipiku dan kutanya pada orang-orang di sekitarku apakah yang kualami itu sekedar mimpi. Ternyata mereka menjawab tidak. Memang yang kualami itu benar-benar terjadi. Tak terlukiskan kegembiraanku saat itu. Apa yang kupanjatkan pada Allah disetiap sujud panjangku ternyata sudah menjadi wujud yang nyata. Tapi ada sesuatu yang ganjil pada peristiwa itu. Sesuatu yang tidak masuk di akal. Tapi hal itu ternyata tak mengurangi kebahagiaanku. Aku bersyukur sekali bahwa ini benar-benar terjadi.
Saat aku menikmati rasa syukurku, tiba-tiba aku terbangun dan menyentuh alam yang nyata. Dan kegembiraan yang sempat kurasakan berubah menjadi kekecewaan. Ternyata semuanya masih sekedar mimpi. Tapi kecewa itu hanya singgah beberapa saat. Walau hanya sekedar mimpi, itu membuatku semakin yakin kalau aku bisa mewujudkannya. Dan doa-doa indah akan tetap terpanjatkan padaNYA menemani usaha-usahaku mewujudkan mimpiku menjadi nyata yang berbuah bahagia. I wouldn’t stop to pray for it!!!
Teringat cerita dari mbak-mbak seniorku tentang prosesnya menuju pernikahan. Suatu hari mbak L cerita padaku n temen-temenku kalau pada waktu ada ikhwan yang ingin ta’aruf dengan mbak L, sebenarnya beliau belum berencana menikah. Apalagi setelah tahu kalau ikhwannya lebih muda dari mbak L. Kira-kira usia mereka terpaut tiga tahun. Kalau ga salah sih. Mbak L angkatan 2001 dan ikhwan yang kini menjadi suaminya angkatan 2004. Dengan berbagai pertimbangan, mbak L berniat menolak untuk melanjutkan proses ta’aruf. Tapi tanpa disangka, waktu proses selanjutnya mbak L mengatakan bersedia melanjutkan ta’aruf ke jenjang pernikahan. Padahal sebelumya mbak L sudah bertekad untuk tidak melanjutkan proses tersebut. Mbak L pun heran ketika sadar dengan apa yang dikatakannya. Begitulah, apapun bisa terjadi jika Allah menghendaki. Tidak ada yang bisa menghalangi jika Allah sudah menghendaki. Akhirnya mereka pun menikah dan sekarang sudah dikaruniai seorang putra yang lucu yang semakin menguatkan cinta mereka. Sok tahu nih aku....he3x. Tapi kata orang emang gitu kan.... ?

Cerita lain yang hampir sama dari ibu I. Waktu ada ikhwan yang ingin meminang beliau, beliau belum berencana menikah karena pada saat itu Ibu I masih kuliah S1 dan ibu beliau sedang dirawat di rumah sakit. Namun semuanya tidak terduga. Lagi-lagi apa pun memang bisa terjadi jika Allah menghendaki. Setelah melaui beberapa proses, akhirnya Ibu I menikah dengan ikhwan tersebut. Pernikahan mereka pun dirayakan dengan sederhana dan ibunya ibu I terpaksa ”diculik” dulu dari rumah sakit. Dan kalau gak salah tiga atau dua minggu setelah menikah, bu I harus ditinggal sang suami pergi ke Jepang untuk melanjutkan studi. Sementara ibu I tetap di Indonesia juga untuk melanjutkan studi beliau. Kini mereka telah dianugerahi empat pelita hati, anak-anak yang sholeh dan shaleha, InsyaAllah.
Di balik dua cerita bahagia di atas ada banyak cerita yang sedikit menyedihkan yang saya dengar ataupun yang saya saksikan sendiri. Banyak wanita-wanita yang secara umur sudah pantas dan mereka merasa siap menikah, namun jodoh mereka tak kunjung datang. Apa lagi di tempat tinggal baru saya, lumayan banyak saya jumpai wanita yang berumur tapi belum menikah. Yang pertama Ibu A, usianya sudah lebih dari 50 tahun. Sampai kini beliau belum menikah. Bukan karena beliau tidak mau menikah karena aku dengar bahwa beliau masih berharap bisa menikah dan juga sudah pernah mencoba berproses dengan seoarng laki-laki. Namun belum juga membawa ibu A ke pernikahan. Ketegaran dan harapan ibu A untuk bisa menikah membuatku salut pada beliau. Aku berharap beliau akan segera menggenapkan separuh dien.
Yang kedua, Mbak-mbak yang kukenal, mereka shaleha dan usianya sudah mendekati 30 tahun. Beliau pingin banget segera mengikuti sunnah Rasul yang mulia itu. Tapi lagi-lagi manusia hanya bisa berencana dan berusaha, Tetap Allah yang memiliki keputusan dan kekuasaan. Hingga kini mbak-mbak tersebut belum menikah. Di antara mereka ada yang hampir putus asa, ada yang sampai bilang mau menikah dengan siapapun asalkan lelaki. Na’udzubillah.
Rezeki, jodoh dan mati kita kan sudah ditentukan oleh Allah sejak ruh kita ditiupkan ke jasad kita sewaktu berada dalam kandungan ibu. Jadi serahkan semuanya pada Allah. Kalau jodoh kita tak kunjung datang, mungkin menurut Allah sebenarnya kita belum siap menikah dan mungkin Allah menginginkan kita memperbaiki diri agar mencapai kualitas yang sebanding dengan jodoh yang disediakan Allah untuk kita. Dan jika tidak kita dapatkan di dunia ini, InsyaAllah Allah akan mempertemukan kita dengannya di JannahNya kelak.Untuk teman-teman yang sekarang lagi menunggu datangnya sang pangeran yang kan mendampingi kita, jangan pernah berputus asa untuk bersabar menanti. Dengan usaha dan doa terbaik kita, aku yakin Allah kan segera mengirimkannya di waktu yang tepat dan pastinya orang yang tepat pula. So...still keep spirit Sist!!!

Sebuah tausyiah yang diposting oleh salah seorang teman saya di milist. Semoga dapat menjadi bahan pembelajaran bagi setiap ibu yang sedang berjuang mendidik buah hatinya dan bagi setiap wanita yang insyaAllah akan menjadi seorang ibu.

Ibu memarahi anaknya, mungkin menjadi pemandangan lumrah di setiap rumah. Sulit dipercaya jika ada seorang ibu yang mengaku tak pernah marah kepada anaknya. Bahkan, banyak sekali para ibu yang kini mengaku suka uring-uringan kepada anaknya, padahal dulu sebelum menikah dia merasa bukan tipe orang yang pemarah.

Memang, beban hidup dan kelelahan mengurus rumah tangga, konflik dengan suami, serta adanya perasaan tidak puas dengan kehidupan rumah tangganya, sering menjadi pemicu kemarahan ibu. Ditambah lagi dengan sikap nakal sang anak yang semakin membuat hati ibu panas. Akhirnya, anak pun kerapkali menjadi korban pelampiasan. Jika satu dua kali saja ibu memarahi anaknya, mungkin masih di anggap wajar. Namun jika setiap hari emosi ibu meledak, dan kemarahan menjadi "bumbu wajib" dalam interaksi keseharian ibu dengan anaknya, maka ini yang berbahaya. Walaupun mungkin kemarahan ibu itu diniatkan untuk mendisiplinkan dan mendidik anaknya

Jangan Kalap !


Kasus-kasus kekerasan terhadap anak yang dilakukan seorang ibu, sungguh memiriskan hati. Ini merupakan kemarahan yang kebablasan. Emosi yang tak terkendali, kejiwaan yang labil, dan campur tangan syetan yang terus membisiki hati, mampu menyulap kemarahan ibu menjadi tindakan kekejaman. Ibu pemarah bermetamorfosis menjadi ibu yang kejam.

Sungguh Rasulullah SAW telah mengingatkan kita semua agar berhati-hati dengan "sikap marah", karena bersumber dari kemarahan itulah berbagai petaka sering datang menimpa.

ليس الشديد بالصرعة انما الشديد الذى يملك نفسه عند الغضب

"Orang yang kuat bukanlah yang pandai bergulat, namun orang yang kuat adalah orang yang mampu menahan dirinya ketika marah." (HR Bukhari)

Jangan Asal Menghukum !

Banyak ibu yang menjadikan marah dan sikap tegas sebagai piranti untuk mendidik dan mendisiplinkan anak. Sikap ini tidak berarti salah secara mutlak. Karena syariat Islam juga menuntunkan agar memberikan hukuman kepada anak, jika anak bersikap menyimpang. Dengan syarat, asal jangan berlebihan. Rasulullah SAW bersabda :

"Perintahkanlah anak-anakmu untuk shalat saat usia mereka tujuh tahun. Dan pukullah mereka (jika tidak mau shalat) bila umur mereka mendapai sepuluh tahun. Dan pisahkanlah di antara mereka di tempat tidur." (HR Abu Dawud)

Jika ingin memerikan hukuman kepada anak, hendaknya dilakukan dengan adil dan tidak sewenang-wenang. Muhammad Rasyid Dimas di dalam bukunya Siyasat Tarbiyyah Khati'ah, mengemukakan beberapa patokan atau rambu-rambu dalam memberikan hukuman yang harus diperhatikan oleh para orang tua dan pendidik.

Pertama, hukuman fisik menjadi jalan terakhir. Kedua, menghindari hukuman fisik saat sedang marah. Ketiga, tidak memukul muka dan kepala. Keempat, anak tidak dipukul sebelum mencapai usia sepuluh tahun. Kelima, berilah kesempatan anak untuk bertaubat dan meminta maaf atas kesalahan yang pertama. Keenam, tidak menyerahkan hukuman kepada orang lain. Ketujuh, tidak menjadikan hukuman sebagai sarana untuk mempermalukan anak di depan umum. Kedelapan, tidak berlebihan dalam menghukum dan tidak menjadikannya sebagai pola permanen dalam berinteraksi dengan anak.

Beberapa bentuk hukuman yang bisa ditempuh orang tua untuk mendidik anaknya adalah teguran, memberikan peringatan, menjauhkan apa yang disenangi anak, celaan, mendiamkan anak (tidak diajak bicara), dan pukulan (hukuman fisik). Namun pukulan adalah alternatif hukuman yang terakhir. Sekali lagi, pukulan dan hukuman fisik adalah sebuah alternatif terakhir.

Anak adalah permata. Tidak selayaknya ia menjadi sasaran kemarahan yang berlebihan, dan objek hukuman fisik yang tidak manusiawi dari kedua orang tuanya. Hendaklah orang tua, termasuk para ibu, bertakwa kepada Allah Ta'ala dalam mendidik anak-anaknya. Semoga permata itu tumbuh menjadi penyejuk hati kedua orang tuanya selamanya, di dunia dan di akhirat. Amiin..


Tentang Cinta

Cinta, di banyak waktu dan peristiwa orang selalu berbeda mengartikannya. Tak ada yang salah, tapi tak ada juga yang benar sempurna penafsirannya. Karena cinta selalu berkembang, ia seperti udara yang mengisi ruang kosong. Cinta juga seperti air yang mengalir ke dataran yang lebih rendah. Tapi ada satu yang bisa kita sepakati bersama tentang cinta. Bahwa cinta, akan membawa sesuatu menjadi lebih baik, membawa kita untuk berbuat lebih sempurna. Mengajarkan pada kita betapa, besar kekuatan yang dihasilkannya. Cinta membuat dunia yang penat dan bising ini terasa indah, paling tidak bisa kita nikmati dengan cinta. Cinta mengajarkan pada kita, bagaimana caranya harus berlaku jujur dan berkorban, berjuang dan menerima, memberi dan mempertahankan. Bandung Bondowoso tak tanggung-tanggung membangunkan seluruh jin dari tidurnya dan menegakkan seribu candi untuk Lorojonggrang seorang. Sakuriang tak kalah dahsyatnya, diukirnya tanah menjadi sebuah telaga dengan perahu yang megah dalam semalam demi Dayang Sumbi terkasih yang ternyata ibu sendiri. Tajmahal yang indah di India, di setiap jengkal marmer bangunannya terpahat nama kekasih buah hati sang raja juga terbangun karena cinta. Bisa jadi, semua kisah besar dunia, berawal dari cinta.

Cinta adalah kaki-kaki yang melangkah membangun samudera kebaikan. Cinta adalah tangan-tangan yang merajut hamparan permadani kasih sayang. Cinta adalah hati yang selalu berharap dan mewujudkan dunia dan kehidupan yang lebih baik. Dan Islam tidak saja mengagungkan cinta tapi memberikan contoh kongkrit dalam kehidupan. Lewat kehidupan manusia mulia, Rasulullah tercinta. Ada sebuah kisah tentang totalitas cinta yang dicontohkan Allah lewat kehidupan Rasul-Nya.
Pagi itu, meski langit telah mulai menguning, burung-burung gurun enggan mengepakkan sayap. Pagi itu, Rasulullah dengan suara terbata memberikan petuah, "Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah kepada-Nya. Kuwariskan dua hal pada kalian, sunnah dan Al Qur'an. Barang siapa mencintai sunnahku, berati mencintai aku dan kelak orang-orang yang mencintaiku, akan bersama-sama masuk surga bersama aku." Khutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasulullah yang teduh menatap sahabatnya satu persatu. Abu Bakar menatap mata itu dengan berkaca-kaca, Umar dadanya naik turun menahan napas dan tangisnya. Ustman menghela napas panjang dan Ali menundukkan kepalanya dalam-dalam. Isyarat itu telah datang, saatnya sudah tiba. "Rasulullah akan meninggalkan kita semua," desah hati semua sahabat kala itu. Manusia tercinta itu, hampir usai menunaikan tugasnya di dunia. Tanda-tanda itu semakin kuat, tatkala Ali dan Fadhal dengan sigap menangkap Rasulullah yang limbung saat turun dari mimbar. Saat itu, seluruh sahabat yang hadir di sana pasti akan menahan detik-detik berlalu, kalau bisa.
Matahari kian tinggi, tapi pintu Rasulullah masih tertutup. Sedang di dalamnya, Rasulullah sedang terbaring lemah dengan keningnya yang berkeringat dan membasahi pelepah kurma yang menjadi alas tidurnya. Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam. "Bolehkah saya masuk?" tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk, "Maafkanlah, ayahku sedang demam," kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu. Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membukan mata dan bertanya pada Fatimah, "Siapakah itu wahai anakku?"
"Tak tahulah aku ayah, sepertinya ia baru sekali ini aku melihatnya," tutur Fatimah lembut. Lalu, Rasulullah menatap putrinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Satu-satu bagian wajahnya seolah hendak di kenang.
"Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan
pertemuan di dunia. Dialah malakul maut," kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya.
Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tak ikut menyertai. Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini.
"Jibril, jelaskan apa hakku nanti dihadapan Allah?" Tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah.
"Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua surga terbuka lebar menanti kedatanganmu," kata jibril. Tapi itu ternyata tak membuat Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan.
"Engkau tidak senang mendengar kabar ini?" Tanya Jibril lagi.
"Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?"
"Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: 'Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya," kata Jibril.
Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik Tampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. "Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini." Lirih Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril
membuang muka.
"Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?" tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu.
"Siapakah yang tega, melihat kekasih Allah direnggut ajal," kata Jibril. Sebentar kemudian terdengar
Rasulullah memekik, karena sakit yang tak tertahankan lagi. "Ya Allah, dahsyat niat maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku."
Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. "Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanukum, peliharalah shalat dan santuni orang-orang lemah diantaramu."
Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telingan ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan.
"Ummatii, ummatii, ummatiii?" Dan, pupuslah kembang hidup manusia mulia itu. Kini, mampukah kita mencinta sepertinya?

By Awie
http://awie.crimsonblog.com/

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Ternyata Masih Sekedar Mimpi

Aku tak percaya bahwa aku berhasil mendapatkan impianku. Ku cubit pipiku dan kutanya pada orang-orang di sekitarku apakah yang kualami itu sekedar mimpi. Ternyata mereka menjawab tidak. Memang yang kualami itu benar-benar terjadi. Tak terlukiskan kegembiraanku saat itu. Apa yang kupanjatkan pada Allah disetiap sujud panjangku ternyata sudah menjadi wujud yang nyata. Tapi ada sesuatu yang ganjil pada peristiwa itu. Sesuatu yang tidak masuk di akal. Tapi hal itu ternyata tak mengurangi kebahagiaanku. Aku bersyukur sekali bahwa ini benar-benar terjadi.
Saat aku menikmati rasa syukurku, tiba-tiba aku terbangun dan menyentuh alam yang nyata. Dan kegembiraan yang sempat kurasakan berubah menjadi kekecewaan. Ternyata semuanya masih sekedar mimpi. Tapi kecewa itu hanya singgah beberapa saat. Walau hanya sekedar mimpi, itu membuatku semakin yakin kalau aku bisa mewujudkannya. Dan doa-doa indah akan tetap terpanjatkan padaNYA menemani usaha-usahaku mewujudkan mimpiku menjadi nyata yang berbuah bahagia. I wouldn’t stop to pray for it!!!

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

When is he come???

Teringat cerita dari mbak-mbak seniorku tentang prosesnya menuju pernikahan. Suatu hari mbak L cerita padaku n temen-temenku kalau pada waktu ada ikhwan yang ingin ta’aruf dengan mbak L, sebenarnya beliau belum berencana menikah. Apalagi setelah tahu kalau ikhwannya lebih muda dari mbak L. Kira-kira usia mereka terpaut tiga tahun. Kalau ga salah sih. Mbak L angkatan 2001 dan ikhwan yang kini menjadi suaminya angkatan 2004. Dengan berbagai pertimbangan, mbak L berniat menolak untuk melanjutkan proses ta’aruf. Tapi tanpa disangka, waktu proses selanjutnya mbak L mengatakan bersedia melanjutkan ta’aruf ke jenjang pernikahan. Padahal sebelumya mbak L sudah bertekad untuk tidak melanjutkan proses tersebut. Mbak L pun heran ketika sadar dengan apa yang dikatakannya. Begitulah, apapun bisa terjadi jika Allah menghendaki. Tidak ada yang bisa menghalangi jika Allah sudah menghendaki. Akhirnya mereka pun menikah dan sekarang sudah dikaruniai seorang putra yang lucu yang semakin menguatkan cinta mereka. Sok tahu nih aku....he3x. Tapi kata orang emang gitu kan.... ?

Cerita lain yang hampir sama dari ibu I. Waktu ada ikhwan yang ingin meminang beliau, beliau belum berencana menikah karena pada saat itu Ibu I masih kuliah S1 dan ibu beliau sedang dirawat di rumah sakit. Namun semuanya tidak terduga. Lagi-lagi apa pun memang bisa terjadi jika Allah menghendaki. Setelah melaui beberapa proses, akhirnya Ibu I menikah dengan ikhwan tersebut. Pernikahan mereka pun dirayakan dengan sederhana dan ibunya ibu I terpaksa ”diculik” dulu dari rumah sakit. Dan kalau gak salah tiga atau dua minggu setelah menikah, bu I harus ditinggal sang suami pergi ke Jepang untuk melanjutkan studi. Sementara ibu I tetap di Indonesia juga untuk melanjutkan studi beliau. Kini mereka telah dianugerahi empat pelita hati, anak-anak yang sholeh dan shaleha, InsyaAllah.
Di balik dua cerita bahagia di atas ada banyak cerita yang sedikit menyedihkan yang saya dengar ataupun yang saya saksikan sendiri. Banyak wanita-wanita yang secara umur sudah pantas dan mereka merasa siap menikah, namun jodoh mereka tak kunjung datang. Apa lagi di tempat tinggal baru saya, lumayan banyak saya jumpai wanita yang berumur tapi belum menikah. Yang pertama Ibu A, usianya sudah lebih dari 50 tahun. Sampai kini beliau belum menikah. Bukan karena beliau tidak mau menikah karena aku dengar bahwa beliau masih berharap bisa menikah dan juga sudah pernah mencoba berproses dengan seoarng laki-laki. Namun belum juga membawa ibu A ke pernikahan. Ketegaran dan harapan ibu A untuk bisa menikah membuatku salut pada beliau. Aku berharap beliau akan segera menggenapkan separuh dien.
Yang kedua, Mbak-mbak yang kukenal, mereka shaleha dan usianya sudah mendekati 30 tahun. Beliau pingin banget segera mengikuti sunnah Rasul yang mulia itu. Tapi lagi-lagi manusia hanya bisa berencana dan berusaha, Tetap Allah yang memiliki keputusan dan kekuasaan. Hingga kini mbak-mbak tersebut belum menikah. Di antara mereka ada yang hampir putus asa, ada yang sampai bilang mau menikah dengan siapapun asalkan lelaki. Na’udzubillah.
Rezeki, jodoh dan mati kita kan sudah ditentukan oleh Allah sejak ruh kita ditiupkan ke jasad kita sewaktu berada dalam kandungan ibu. Jadi serahkan semuanya pada Allah. Kalau jodoh kita tak kunjung datang, mungkin menurut Allah sebenarnya kita belum siap menikah dan mungkin Allah menginginkan kita memperbaiki diri agar mencapai kualitas yang sebanding dengan jodoh yang disediakan Allah untuk kita. Dan jika tidak kita dapatkan di dunia ini, InsyaAllah Allah akan mempertemukan kita dengannya di JannahNya kelak.Untuk teman-teman yang sekarang lagi menunggu datangnya sang pangeran yang kan mendampingi kita, jangan pernah berputus asa untuk bersabar menanti. Dengan usaha dan doa terbaik kita, aku yakin Allah kan segera mengirimkannya di waktu yang tepat dan pastinya orang yang tepat pula. So...still keep spirit Sist!!!

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Kode Etik Memarahi Anak

Sebuah tausyiah yang diposting oleh salah seorang teman saya di milist. Semoga dapat menjadi bahan pembelajaran bagi setiap ibu yang sedang berjuang mendidik buah hatinya dan bagi setiap wanita yang insyaAllah akan menjadi seorang ibu.

Ibu memarahi anaknya, mungkin menjadi pemandangan lumrah di setiap rumah. Sulit dipercaya jika ada seorang ibu yang mengaku tak pernah marah kepada anaknya. Bahkan, banyak sekali para ibu yang kini mengaku suka uring-uringan kepada anaknya, padahal dulu sebelum menikah dia merasa bukan tipe orang yang pemarah.

Memang, beban hidup dan kelelahan mengurus rumah tangga, konflik dengan suami, serta adanya perasaan tidak puas dengan kehidupan rumah tangganya, sering menjadi pemicu kemarahan ibu. Ditambah lagi dengan sikap nakal sang anak yang semakin membuat hati ibu panas. Akhirnya, anak pun kerapkali menjadi korban pelampiasan. Jika satu dua kali saja ibu memarahi anaknya, mungkin masih di anggap wajar. Namun jika setiap hari emosi ibu meledak, dan kemarahan menjadi "bumbu wajib" dalam interaksi keseharian ibu dengan anaknya, maka ini yang berbahaya. Walaupun mungkin kemarahan ibu itu diniatkan untuk mendisiplinkan dan mendidik anaknya

Jangan Kalap !


Kasus-kasus kekerasan terhadap anak yang dilakukan seorang ibu, sungguh memiriskan hati. Ini merupakan kemarahan yang kebablasan. Emosi yang tak terkendali, kejiwaan yang labil, dan campur tangan syetan yang terus membisiki hati, mampu menyulap kemarahan ibu menjadi tindakan kekejaman. Ibu pemarah bermetamorfosis menjadi ibu yang kejam.

Sungguh Rasulullah SAW telah mengingatkan kita semua agar berhati-hati dengan "sikap marah", karena bersumber dari kemarahan itulah berbagai petaka sering datang menimpa.

ليس الشديد بالصرعة انما الشديد الذى يملك نفسه عند الغضب

"Orang yang kuat bukanlah yang pandai bergulat, namun orang yang kuat adalah orang yang mampu menahan dirinya ketika marah." (HR Bukhari)

Jangan Asal Menghukum !

Banyak ibu yang menjadikan marah dan sikap tegas sebagai piranti untuk mendidik dan mendisiplinkan anak. Sikap ini tidak berarti salah secara mutlak. Karena syariat Islam juga menuntunkan agar memberikan hukuman kepada anak, jika anak bersikap menyimpang. Dengan syarat, asal jangan berlebihan. Rasulullah SAW bersabda :

"Perintahkanlah anak-anakmu untuk shalat saat usia mereka tujuh tahun. Dan pukullah mereka (jika tidak mau shalat) bila umur mereka mendapai sepuluh tahun. Dan pisahkanlah di antara mereka di tempat tidur." (HR Abu Dawud)

Jika ingin memerikan hukuman kepada anak, hendaknya dilakukan dengan adil dan tidak sewenang-wenang. Muhammad Rasyid Dimas di dalam bukunya Siyasat Tarbiyyah Khati'ah, mengemukakan beberapa patokan atau rambu-rambu dalam memberikan hukuman yang harus diperhatikan oleh para orang tua dan pendidik.

Pertama, hukuman fisik menjadi jalan terakhir. Kedua, menghindari hukuman fisik saat sedang marah. Ketiga, tidak memukul muka dan kepala. Keempat, anak tidak dipukul sebelum mencapai usia sepuluh tahun. Kelima, berilah kesempatan anak untuk bertaubat dan meminta maaf atas kesalahan yang pertama. Keenam, tidak menyerahkan hukuman kepada orang lain. Ketujuh, tidak menjadikan hukuman sebagai sarana untuk mempermalukan anak di depan umum. Kedelapan, tidak berlebihan dalam menghukum dan tidak menjadikannya sebagai pola permanen dalam berinteraksi dengan anak.

Beberapa bentuk hukuman yang bisa ditempuh orang tua untuk mendidik anaknya adalah teguran, memberikan peringatan, menjauhkan apa yang disenangi anak, celaan, mendiamkan anak (tidak diajak bicara), dan pukulan (hukuman fisik). Namun pukulan adalah alternatif hukuman yang terakhir. Sekali lagi, pukulan dan hukuman fisik adalah sebuah alternatif terakhir.

Anak adalah permata. Tidak selayaknya ia menjadi sasaran kemarahan yang berlebihan, dan objek hukuman fisik yang tidak manusiawi dari kedua orang tuanya. Hendaklah orang tua, termasuk para ibu, bertakwa kepada Allah Ta'ala dalam mendidik anak-anaknya. Semoga permata itu tumbuh menjadi penyejuk hati kedua orang tuanya selamanya, di dunia dan di akhirat. Amiin..


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS