Anak adalah harta yang sangat berharga bagi pasangan sumai istri. Bagi sebagian orang, kehadiran seorang anak pada sebuah keluarga baru dapat mengeratkan ikatan cinta antara suami dan istri.  karena sangat berharganya nilai seorang anak, maka sebagai orang tua hendaknya kita dapat memberikan yang terbaik untuknya. Tidak hanya terbaik dalam penyediaan fasilitas, makanan n minuman, kasih sayang tapi juga dalam hal pendidikan. Tidak hanya pendidikan formal tapi juga pendidikan sejak dini. Mendidik anak sejak dini sangat menentukan bagaimana perkembangan kedewasaan anak. Sebagai orang tua apapun tingkah laku kita akan dilihat oleh anak dan dijadikan contoh perilaku anak, baik yang baik maupun yang buruk sekalipun. Karena pada dasarnya anak berumur dibawah lima tahun rasa ingin tahu dan belajarnya sangat tinggi. Daya ingat bagi anak di bawah lima tahun sangat tajam dan sebagai orang tua sudah layaknya memberikan cotoh dalam kehidupan sehari-hari pada kegiatan-kegiatan yang positif. Sebagai contoh bila orang tua suka membaca, atau suka menulis atau suka berolah raga  dan sebagainya, si anakpun cenderung akan mencontohnya.

Berikut ini beberapa tips dalam mendidik anak ala Shirahama Sensei yang saya dapatkan dari blognya Bu Juariyah. Lets check it out!

1.Anak yang diijime (ditindas) akan tumbuh menjadi orang yang suka menindas. Anak yang disayang akan tumbuh menjadi Manusia penyayang. Anak yang senantiasa dihargai akan tumbuh menjadi orang yang menghargai.
2.Perbedaan anak yang selalu dibantu dengan anak yang tidak selalu dibantu adalah anak yang tidak selalu dibantu akan tumbuh menjadi anak yang lebih mandiri. Contoh ; Bila sejak kecil saat menangis kita selalu dan selalu menghampiri maka bukan tidak mungkin dia akan selalu bergantung dan saat mendapatkan kesulitan sedikit saja yang dia lakukan adalah menangis dan terus menangis.Akan tetapi bila sekali waktu kita biarkan (tidak selalu menghampiri) sambil kita lihat keadaannya dari jauh dalam kondisi aman-aman saja, dan ini sering kita lakukan maka anak akan menjadi seorang yang bebas dan akhirnya memutuskan masalahnya sendiri yang pada akhirnya akan menjadi anak yang mandiri.
3. Tiga alasan yang sering diucapkan oleh orang tua saat melarang anak adalah ;
A : ABUNAI artinya Berbahaya.
K : KITANAI artinya Kotor  
U : URUSAI artinya Berisik
Bukan tidak mungkin kita sering mengucapkan kata-kata diatas, dan secara tidak sengaja kita telah membatasi proses kreatifitas anak dengan alasan-alasan diatas oleh karena itu cobalah untuk menghindari kata-kata tersebut.Bila tidak memungkinkan kita bisa menjelaskan kenapa kita melarang dengan menjelaskan alasannya dan ajak anak mendiskusikannya.
Contoh : Ayo kenapa ngak boleh main bola di jalan? karena bahaya jawab anak. Kenapa bahaya? karena nanti ada mobil lewat dst dst. Yang terpenting adalah ajak anak berdiskusi tentang keputusannya.
4. Saat anak menjelang usia dua tahun anak selalu bilang "Jibun de dekiru!" "Aku bisa sendiri" baik saat ingin pakai sepatu kaus kaki, baju dan sebagainya. Biarkanlah karena itu adalah AWAL DARI KEMANDIRIANNYA.
5. Amaeru wa daiji shikasi amaekasu wa shinaiyo : Menyayangi itu penting akan tetapi jangan memanjakan.
6. Cara Marah (baca menghadapi anak saat kita kesal) pada anak :
    - Kuraberuna ; Jangan membandingkan. 
    - Kodomo nimo puraido wo motsu ; Anak memiliki harga diri, Jadi jagalah harga dirinya.
    - Dokudoku iwanaide ; Jangan merepet (ngak berenti kayak kereta) ngomongnya.
    - Kodomo ga homerareteiru Berikanlah Pujian pada anak (Saat anak usia 1-3 tahun anak senang  dipuji) setelah dipuji biasanya
      dia akan lebih mudah menerima masukan.    
    - Sippaitoki mo Homerubekida : Saat gagal sekalipun jangan dimarahi tapi HARUS di puji.
         Contoh : Saat pakai sepatu terbalik yang pertama kita ucapkan adalah kesalahannya   "Sore hantaidayo!" "Itu terbalik!" bukan berupa pujian karena usahanya yang telah mencoba pakai sepatu sendiri. Usahakanlah memujinya terlebih dahulu untuk kemudian baru memberitahukan kalau pakai sepatunya terbalik.  
      -  Kodomo no kotoba wo kurikaesu : Mengulang ucapan anak.
       Contoh : Saat anak jatuh dia berkata "Sakit!" maka kita jawab "Sakit yah?"
        Atau ada kisah lucu saat kita bersama anak pergi kekebun binatang kemudian anak berkata "Tanoshikatanee, ashita mata kurunee okaasan!"  "Seneng banget! besok datang lagi kesini (kebun binatang) ini lagi yah Mah". Kita mungkin akan berkata "Ashita kuru wake nai deshou,ashita gakkoy deshou,....,.....?!" " Besok Ngak mungkin lah kita kesini lagi, Besok sekolah kan?,....,...dst" . Padahal apa salahnya kita berkata "Sou nee Tanoshikatta nee,Mama mo mata koko ni kitainaa",..." Iya yah seneng yah, mama juga pingin deh datang lagi". Tidak ada janji dan tidak ada bohong dalam kata-kata diatas hanya ungkapan senang karena anak juga senang. dan itu artinya Anda sudah menghargai pendapatnya bahwa pergi kekebun binatang itu menyenangkan.
7.Seringlah mengucapkan kata-kata berikut :
   - Ureshii : Senang 
   - Tanoshii : menyenangkan

   - Shiawase : bahagia
   -  Daisuki  : sangat senang (pada....)
   - Aishiteiru : sayang/cinta
   - Arigatou  : Terimakasih
   - tsuiteiru   : Beruntung       
Banndingkan dengan kata-kata dibawah
   - Tsurai : susah
   - kanashi : sedih
   - Tsumaranai : membosankan
   - Iyada  : Sebel/menyebalkan/tidak mau.
   - Kiraida : Tidak suka.
   - Tsukareta : Cape
  -  Tsuiteinai : Tidak beruntung.
Cobalah berkaca pada diri sendiri mana yang sering kita ucapkan pada anak kita, mungkin saat anak pulang sekolah yang pertama kita ucapkan "Mama  lelah, kamu jangan nakal yah, mainnya jangan berantakan yah mama cape dsb". Latihlah diri kita untuk mengucapkan kata-kata yang menyenangkan contoh "Wah Mama rindu sekali sama kamu, hari ini kamu gimana disekolah? menyenangkan?" atau "Mama senang sekali bisa ketemu kamu lagi, mama cinta deh sama kamu dsb".
Satu lagi lihatlah wajah kita saat kata-kata yang menyenangkan yang sering kita ucapkan maka akan terpancar kebahagiaan dalam wajah kita pada anak berbeda jauh bila kata-kata yang dibagian bawah diatas yang sering kita ucapkan yang ada rasa sesal, penat dan lelah pada diri kita yang akhirnya timbul akibat yang tidak menyenangkan pada anak.
8. Minat atau ketertarikan pada suatu hal (興味の進点化=kyoumitenka) ditambah dengan pengalaman konsentrasi (熱中体験= shuchuutaiken) akan meningkatkan Kekuatan konsentrasi (Shuchuryoku集中力).
Jadi bila kita ingin menyuruh atau bicara pada anak lihatlah apa yang sedang dia lakukan, apabila kita sering memotong aktifitasnya misal dia sedang main balok kemudian kita bilang "ayo sebentar lagi kamu les piano, atau abis itu kamu belajar bahasa inggris lalu ini lalu itu dst dst" Bisa jadi kemampuan konsentrasinya terus terganggu yang pada akhirnya akan mengurangi kemampuan konsentrasi otaknya karena terlalu banyak perintah dan interupsi.
9. Marah itu tidak ada gunanya baik bagi anak maupun bagi kita orang tuanya. yang ada kita lelah anakpun jadi stress dibuatnya.
10. Tahu kanji otona 大人 (Orang Dewasa)? dulunya kanji ini ditulis 音無 (kanji oto=suara dan kanji nai=tidak ada) artinya ngak bersuara itu artinya sebagai orang dewasa JANGAN RIBUT! JANGAN BERISIK!  apalagi sering ngomel, hehehe...
Ijoudesu, (cukup yah)
Siang itu waktu memasuki waktu dhuhur. Aku dan teman-teman pun menghentikan acara kami dan beranjak ke tempat wudhu untuk persiapan sholat. Waktu lagi ngantri wudlu tiba-tiba ada adik kelas yang nyletuk
“kakak kelas ku mau nikah yam mbak? ”tanya Risa dengan suara lembutnya
“Iya ta dik?”Tanyaku kembali pada Risa dengan nada terkejut yang kusadari agak berlebihan
”Kenapa mbak anti kok kaget banget? ”Tanya Andin yang mengetahui reaksiku
”Eng.....ga papa dek. Kaget aja. Ga nyangka Bagas akan nikah secepat itu. Tapi ya siapa tahu sih emang bener. Anti tahu dari mana dik Risa?
“Dari orang-orang asrama, di asrama tuh sudah heboh berita ini mbak. Kirain mbak-mbak sudah tahu.”jawab Risa panjang lebar.
Dalam hati aku bersyukur, untung tidak ada yang tanya macam-macam karena reaksiku tadi. Terasa kaget benar saat aku mendengar kabar tadi. Di kepalaku langsung terlintas lagunya ahmad dani. Hancur hatiku......na..na..na (ga tahu lanjutannya). Seketika itu aku sadar bahwa aku akan kecewa, sedih dan perasaan negatif lainnya ketika kabar itu benar adanya dan aku masih menyimpan harapan untuk bisa bersanding dengannya. Orang yang belakangan ini mengusik hatiku. Dalam doa usai sholatku aku memohon pada Allah agar aku bisa menghilangkan perasaanku pada Bagas, tidak sering membicarakan apalagi membayangkannya.
“Ya...Allah..terimakasih engkau telah memberi rasa cinta pada hamba yang sempat membuat hamba lebih bersemangat menjalani hidup, yang membuat hamba lebih dekat denganMu. Ya Allah kini hamba sadar bahwa rasa cinta itu belum halal untuk hamba. Hamba tak mau terlalu terluka ketika takdirMu mengatakan bahwa dia bukan untuk hamba. Hamba tidak mau itu terjadi ya Allah. Mulai detik ini hamba titipkan rasa ini padaMu. Akan hamba biarkan Engkau menjaganya dan mengembalikannya pada hamba di waktu yang telah Engkau tetapkan jika memang Engkau berkehendak.Ya Allah semoga Engkau mengabulkan doa hamba. Amin.”
Sejak saat itu ku tak lagi memikirkan Bagas. Harapan untuk menjadi istrinya pun terbungkus indah dalam doa yang telah kupanjatkan pada Yang Maha Kuasa.
                                                        
                                                            ################

Siang ini matahari sangat menyengat kulit, aku putuskan untuk istirahat di masjid dulu setelah sholat dhuhur. Mendinginkan otak dulu setelah satu jam memanas saat menghadapi pertanyaan-pertanyaan kuis Fisika zat Padat 2 tadi. Selain itu aku ingin lebih lama bercengkeramah dengan Sang Pencipta, Yang memiliki diriku.
Setelah lima belas menit istirahat, kini aku merasa lega. Gerahku sudah hilang. Jam dinding masjid menunjukkan pukul 12.45 WIB. Aku harus bergegas ke jurusan untuk melaksanakan tugasku sebagai asisten praktikum fisika dasar 1. Kali ini aku mengasisteni mahasiswa tingkat 1 jurusan Teknik Fisika. Agak ribet juga menangani mahasiswa yang mayoritas cowok itu. Walaupun begitu aku senang saat mendampingi pereka praktikum. Mereka rata-rata cerdas dan kritis. Dan aku hampir bisa akrab dengan mereka setelah beberapa kali kami bertemu.
Usai praktikum, mereka pun berkumpul ke mejaku untuk mendapatkan brifing tentang laporan praktikum yang harus dikumpulkan minggu depan. Setelah mereka merasa jelas dengan penjelasanku tentang laporan itu. Mereka bergegas pulang, tapi ada beberapa orang yang masih di depan mejaku. Katanya mau ngobrol denganku.
”Mbak Aisyah aktif di UKKI ya mbak?”Tanya Fito tiba-tiba
”Iya, kenapa Fit?ayo kalau mau gabung!jawabku”
”Ga kenapa-kenapa mbak. Berarti mbak kenal mas Bagas dong. Dia kan sekum UKKI. Dia mentor ku lho mbak.”Jelasnya
Hatiku tersentak saat Fito menyebut nama itu, nama yang tidak asing di telingaku.
”Kenal” Jawabku singkat
Fito langsung terus nerocos melanjutkan ceritanya tentang Bagas tanpa ku minta.
”Dia tu keren banget ya mbak... Sudah alim, pinter, jadi MAWAPRES. Pokoknya TOP BGT deh. Aku seneng banget jadi adek mentornya”
”Ohw......Ceritanya lagi pamer mentor nih....ledekku pada Fito. Kalo kakak mentornya sekeren itu, adik mentenya harus lebih keren dong!”
”Doakan ya mbak semoga aku bisa seperti mas Bagas”
”Iya, aku doakan semoga kamu bisa seperti kakak mentormu itu, bahkan bisa lebih baik darinya.”
”Amin” ucap Fito dan teman-temannya.
Ngomongin tentang Bagas aku jadi keinget berita itu. Berita pernikahannya. Aku berniat untuk tanya pada Fito, tapi kuurungkan niatku itu. Karena aku tidak mau menggibah. Apalagi tanya-tanya tentang ikhwan, bukan aku banget. Tapi tiba-tiba Fito melanjutkan ceritanya.
”Eh mbak, emang bener ya mas Bagas mau nikah dalam waktu dekat ini? tanya Fito pelan padaku
”Ga tahu dik.Tanya aja ke orangnya. Kamu kan adik kelasnya. Pasti sering ketemu kan?”jawabku
”Sudah ya, ngomongin kakak kelas mu itu. Nanti jadi nglantur ke mana-mana. Ga boleh Ghibbah.
Fito pun tidak melanjutkan perbincangan kami dan bergegas pulang setelah lama teman-temannya menunggu.
Jam yang tergantung di dinding Lab menunjukkan pukul 16.15 WIB. Setelah mengisi absensi aku berpamitan ke teman-teman yang masih ada di sana. Setelah lima menit berjalan menyusuri tangga dari lantai tiga akhirnya aku sampai di lantai dasar. Aku langsung menuju tempat parkir untuk mengambil sepeda dan pergi menunju masjid kampus. Aku mau mengambil Buku Mutaba’ah kader yang kusimpan di loker keputrian.
Setelah lima menit dari jurusan aku sampai di masjid. Ku parkir sepedaku di depan toko masjid. Aku langsung menuju lantai 2 masjid dan mengambil buku itu. Setelah mengambill buku mutaba’ah dan merapikan loker yang isinya mulai berantakan itu, aku langsung turun mau pulang. Di depan toko masjid aku ketemu Ardita, temenku waktu TBB dulu dan kami pun akrab hingga kini. Dia juga sejurusan dengan Bagas. Ah....kenapa lagi-lagi harus menyebut nama itu. Setelah saling bersapa salam dan bercipika-cipiki, kami pun ngobrol. Tiba-tiba dari bundaran tiba-tiba datang sesosok manusia yang sudah kukenal siapa namanya. Orang yang akhir-akhir ini jadi pembicaraan orang-orang di sekitarku. Dialah Bagas. Seorang Adam yang sempat membuatku resah. Dia mendekat ke arah toko. Menghampiri bang Isa yang siang itu lagi tugas jaga di toko.
”Assalamu’alaykum Gas, yang mau nikah rek, wajahnya sumringah banget”sapa bang Isa pada Bagas yang menghampirinya.
”Wa’alaykumsalam warahmatullah”Jawab Bagas dengan senyum khasnya.
”Mana undangannya”Tanya bang Isa pada Bagas yang sedang mengambil teh botol di frezzer.
”Undangan apa bang” Jawab Bagas dengan cueknya
”Kata anak-anak, antum mau menggenapkan separuh din”
”Kalo itu pastilah bang. Itu kan sunnah Rasul. Kita-kita kan harus mengikuti sunnahnya”jawab Bagas dengan logat khasnya.
Ada sengatan kecil di hatiku ketika ku mendengar jawabannya.”jadi dia bener mau nikah? dengan siapa? kapan? pertanyaan itu beruntun menyerbu kepalaku.
”Tapi ngga waktu dekat ini Bang. Masih ada target lain yang harus diwujudkan.”
Hatiku lega mendengar jawabannya yang barusan kudengar.
”Kok ada gosip itu gimana?”tanya bang Isa yang semakin penasaran
”Itu ulah temen-temen jurusan. Itu tu salah satunya”jawab Bagas sambil menunjuk Ardita yang sedang ngobrol denganku.
Merasa dilibatkan dalam percakapan Bagas dan bang Isa, Ardita yang agak cerewet itu pun langsung ikut menimpali perbincangan mereka.
”Eh, enak aja nuduh orang penyebar gosip. Bukan aku ya yang nyebarin gosip itu.”jelas Ardita sambil sewot karena tidak terima dituduh sebagai tukang gosip.
”Sebenarnya yang mau nikah itu kakakku, bang. Eh malah aku yang digosipkan mau nikah. Tapi gapapa juga sih. Ku anggap aja itu doa buatku.”Papar Bagas menjelaskan gosip itu, jawaban indah yang membuatku lega.
Ternyata itu hanya gosip belaka. Dan aku kembali tersenyum dalam hati. Aku bersyukur karena harapan itu masih ada. Harapan untuk menjadi pendamping hidupnya. Semoga Engkau mengabulkan harapanku itu ya Allah. Amin. Dan tak sengaja ternyata aku senyum-senyum sendiri sehingga Ardita pun heran.
”kenapa ukh? Kok senyum-senyum sendiri? Hayo ada apa?”Ledek Ardita padaku
”Eng...ngga ada apa-apa ukh. Eh, sudah sore nih, aku pamit dulu ya. Assalamuálaykum warahmatullah.”
”waálaykumsalam warahmatullah”jawab Ardita
                 
                                                                 SELESAI


Dalam makna memberi itu posisi kita sangat kuat:
Kita tak perlu kecewa atau terhina dengan penolakan,
atau lemah atau melankolik saat kasih kandas karena takdirNYA
Sebab di sini kita justru sedang melakukan
 sebuah “pekerjaan jiwa”yang besar dan agung:
MENCINTAI.
~M. Anis Matta~

“Ya Rasulallah”, kata Umar perlahan, “Aku mencintaimu seperti kucintai diriku sendiri.”
Beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam tersenyum. “Tidak wahai ‘Umar. Engkau harus mencintaiku melebihi cintamu pada diri dan keluargamu.”
“Ya Rasulallah”, kata ‘Umar, “Mulai saat ini engkau lebih kucintai daripada apapun di dunia ini.”
“Nah, begitulah wahai ‘Umar.”
Membaca kisah ini, membuat saya takjub dan bertanya. Sebegitu mudahkah bagi seorang ‘Umar bin Khaththab menata ulang cintanya dalam sekejap? Sebegitu midajkah cinta diri digeser ke bawah untuk memberi ruang lebih besar bagi cinta pada sang Nabi? Dalam waktu yang sangat singkat. Hanya sekejap. Ah, alangkah indahnya jika saya pun bisa begitu.
Bagi saya tak semudah itu. Cinta berhubungan dengan ketertawanan hati dan perasaan yang tak gampang dialihkan. Tetapi ‘Umar bisa. Dan mengapa ia bisa?
Ternyata cinta bagi ‘Umar adalah kata kerja. Maka menata ulang cinta baginya hanyalah menata ulang kerja dan amalnya dalam mencintai. Ia tak berumit-rumit dengan apa yang ada dalam hati. Biarlah hati menjadi makmum bagi kerja-kerja cinta yang dilakukan oleh amal shalihnya.
Dari sini kita bisa memahami apa yang dikeluhkan oleh Erich Fromm. “Cinta merupakan seni”, tulisnya dalam The Art of Loving. “Maka cinta memerlukan pengetahuan dan perjuangan. Sayang, pada masa ini cinta lebih merupakan masalah dicintai (to be loved), bukan mencinta (to love) atau kemampuan untuk mencintai.”
Ya. Persoalan cinta menjadi tak sederhana, karena cinta dalam latar pikir kita adalah persoalan ‘dicintai’. Itu adalah sesuatu yang di luar kendali jiwa kita. Kita dicintai atau tidak bukanlah suatu hal yang bisa kita paksakan. Dunia di luar sana punya perasannya sendiri, yang kadang secara aneh memutuskan siapa yang layak dan tak layak dicintai.
Maka mari kita sederhanakan persoalannya. Bahwa cinta, sebagaimana ‘Úmar memahaminya adalah persoalan berusaha untuk mencintai. Bahwa cinta bukanlah gejolak hati yang datang sendiri melihat paras ayu atau jenggot rapi. Bahwa, sebagaimana cinta kepada Allah yang tak serta merta mengisi hati kita, setiap cinta memang harus diupayakan. Dengan kerja, dengan pengorbanan, dengan air mata dan bahkan darah.
Di sini kalimat seorang suami yang suatu hari mengadu untuk bercerai menjadi tak relevan, “Aku sudah tak mencintainya lagi!”Justru karena kau tak mencintainya lagi, maka cintailah dia. Karena cinta adalah kata kerja. Lakukanlah kerja jiwa dan raga untuk mencintainya. Kerjakan cinta  yang ku maksudkan agar kau temukan cinta yang kau maksudkan. Karena cinta adalah kata kerja.
Di sini kalimat seorang istri yang menerima seorang lelaki karena keterpaksaan juga tak mempan. “Aku tidak mencintainya.”Engkau bisa memilih. Untuk mencintai atau membenci. Dan dalam keadaan kini, mencintai adalah pilihan yang lebih masuk akal. Bukan perasaan itu. Mungkin ia memang belum hadir. Yang kumaksudkan adalah sebuah kerja untuk mencintai. Karena cinta adalah kata kerja.
Mencintai Allah, mencintai RasullNYA, mencintai jihad di jalanNya juga berjalan di atas logika yang sama. Ia melampaui batas-batas perasaan suka dan tak suka. Mungkin ia sulit. Atau kalah dibandingkan kecenderungan hati untuk mencintai ayah, anak, saudara, istri, simpanan kekayaan, perniagaan, dan kediaman-kediaman indah. Tetapi ia mungkin dan masuk akal untuk digapai. Karena bukan ‘perasaan cinta’yang dituntut di sini. Melainkan ‘kerja cinta’.
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”(Q.S Al Baqarah: 216)
Dalam jihad, cinta menjadi sederhana. Bukan karena kita suka melihat darah tumpah, bukan karena kita menyukai anyir peperangan. Perasaan kita boleh tetap membencinya. Tapi cinta adalah sebuah kerja seperti yang terucap dalam bai’at para shahabat, “Kami siap untuk mendengar dan taat, baik dalam keadaan rela maupun malas, baik dalam suka maupun duka, dalam keadaan rela maupun terpaksa.”Inilah kerja untuk mencintai. Karena kita beriman pada Allah, karena kita percaya pada ilmuNya, dan percaya pada kebaikan-kebaikan yang dijanjikanNya.
Di jalan cinta para pejuang, cinta adalah kata kerja. Biarlah perasaan hati menjadi makmum bagi kerja-kerja cinta yang dilakukan oleh amal shalih kita.

Mentaatinya adalah niat baik dari hati yang tulus
Alirannya adalah kerja yang terus menerus

Dikutip dari  buku Jalan Cinta Para Pejuang-Salim A. Fillah
"Dunia ini adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita yang shalihah" ( H. R. Muslim)
“Tiada kekayaan yg diambil seorang mukmin setelah takwa kepada Allah yang lebih baik dari istri shalihah."[Hadits Riwayat Ibn Majah]
 
 Seperti yang disebutkan dalam hadist di atas, wanita shalihah adalah sebaik-baik perhiasan dan istri shalihah adalah kekayaan yang lebih baik setelah takwa bagi seorang mukmin. Jadi, beruntung sekali seorang laki-laki yang mendapatkan istri shalihah. Karena begitu mulianya gelar yang didapatkan oleh seorang istri shalihah, tentu besar pula imbalan yang diterima bagi seorang istri shalihah. 
Terus bagaimana caranya menjadi istri shalihah??? Insya Allah gampang koq :D. Asal mau praktek aja.. Hihii..(Ini bukan saya yang bilang).

Yuk kita sama-sama belajar bagaimana menjadi seorang Wanita sholihah itu..
 
Betapa indahnya menjadi seorang wanita shalihah, Rasulullah SAW bahkan berwasiat:

§  Wanita yang membuat tepung bagi suami dan anak-anaknya, kelak Allah tetapkan baginya kebaikan dari setiap biji gandum yang diadonnya dan Allah akan melebur kejelekan serta meningkatkan derajatnya

§  Wanita yang berkeringat ketika menumbuk tepung bagi suami dan anak-anaknya, niscaya Allah akan menjadikan antara neraka dan dirinya tujuh tabir pemisah

§  Wanita yang meminyaki dan menyisirkan rambut anak-anaknya dan mencuci pakaiannya, maka Allah tetapkan pahala baginya seperti pahala memberi makan seribu orang yang kelaparan dan memberi pakaian seribu orang yang telanjang

§  Wanita yang membantu kebutuhan tetangganya, maka Allah membantunya untuk dapat minum dari telaga kautsar pada hari kiamat kelak

§  Yang utama dari seluruh keutamaan itu adalah keridhaan suami terhadap istri. Kemarahan suami adalah kemurkaan Allah

§  Saat seorang wanita mwngandung, maka malaikat memohonkan ampunan baginya, dan Allah tetapkan baginya setiap hari seribu kebaikan serta melebur seribu kejelekan. Ketiaka seorang Wanita merasa sakit akan melahirkan, maka Allah tetapkan pahala baginya sama dengan pahala para pejuang dijalan Allah. Disaat wanita melahirkan kandungannya, maka bersihlah dosa-dosanya, seperti ketika ia dilahirkan dari kandungan ibunya. Disaat wanita meninggal saat melahirkan, maka tidak akan membawa dosa sedikitpun. Didalam kubur akan mendapat taman indah yang merupakan bagian dari taman surga. Allah memberikan pahala kepadanya sama dengan pahala seribu orang yang melaksanakan ibadah Haji dan Umrah, dan seribu malaikat memohonkan ampunan baginya hingga hari kiamat

§  Saat seorang istri melayani suaminya selama sehari semalam dengan rasa senang serta ikhlas, maka Allah akan menganpuni dosa-dosanya serta memakaikan pakaian padanya di hari kiamat berupa pakaian yang serba hijau, dan menetapkan baginya setiap rambut pada tubuhnya seribu kebaikan. Allah pun akan memberikan padanya seratus kali beribadah haji dan umrah.

§  Saat seorang istri tersenyum di hadapan suaminya, maka Allah akan memandangnya dengan pandangan penuh kasih

§  Saat seorang istri membentangkan alas tidur untuk suaminya dengan rasa senang hati, maka para malaikat yang memanggil dari langit menyeru wanita itu agar menyaksikan pahala amalnya, dan Allah mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang.

§  Saat seorang wanita meminyaki dan menyisirkan kepala suami, meminyaki jenggot dan memotong kumisnya, serta memotong kukunya. Maka Allah akan memberi minuman arak yang dikemas indah kepadanya, yang didatangkan dari sungai-sungai surga. Allah pun akan mempermudah sakaratul maut baginya, serta menjadikan kuburnya bagian dari taman surga. Allah pun menetapkan baginya bebas dari siksa neraka serta dapat melintasi shiratal-mustaqim dengan selamat.

Nah.. Ilmu udah ada, motivasi udah OK, tinggal kurang satu. Praktek!!



Di Madinah ada seorang wanita cantik shalihah lagi bertakwa. Bila malam mulai merayap menuju tengahnya, ia senantiasa bangkit dari tidurnya untuk shalat malam dan bermunajat kepada Allah. Tidak peduli waktu itu musim panas ataupun musim dingin, karena disitulah letak kebahagiaan dan ketentramannya. Yakni pada saat dia khusyu’ berdoa, merendah diri kepada sang Pencipta, dan berpasrah akan hidup dan matinya hanya kepada-Nya.
Dia juga amat rajin berpuasa, meski sedang bepergian. Wajahnya yang cantik makin bersinar oleh cahaya iman dan ketulusan hatinya.
Suatu hari datanglah seorang lelaki untuk meminangnya, konon ia termasuk lelaki yang taat dalam beribadah. Setelah shalat istiharah akhirnya ia menerima pinangan tersebut. Sebagaimana adat kebiasaan setempat, upacara pernikahan dimulai pukul dua belas malam hingga adzan subuh. Namun wanita itu justru meminta selesai akad nikah jam dua belas tepat, ia harus berada di rumah suaminya. Hanya ibunya yang mengetahui rahasia itu. Semua orang ta’jub. Pihak keluarganya sendiri berusaha membujuk wanita itu agar merubah pendiriannya, namun wanita itu tetap pada keinginannya, bahkan ia bersikeras akan membatalkan pernikahan tersebut jika persyaratannya ditolak. Akhirnya walau dengan bersungut pihak keluarga pria menyetujui permintaan sang gadis.
Waktu terus berlalu, tibalah saat yang dinantikan oleh kedua mempelai. Saat yang penuh arti dan mendebarkan bagi siapapun yang akan memulai hidup baru. Saat itu pukul sembilan malam. Doa ‘Barakallahu laka wa baaraka alaika wa jama’a bainakuma fii khairin’ mengalir dari para undangan buat sepasang pengantin baru. Pengantin wanita terlihat begitu cantik. Saat sang suami menemui terpancarlah cahaya dan sinar wudhu dari wajahnya. Duhai wanita yang lebih cantik dari rembulan, sungguh beruntung wahai engkau lelaki, mendapatkan seorang istri yang demikian suci, beriman dan shalihah.

Jam mulai mendekati angka dua belas, sesuai perjanjian saat sang suami akan membawa istri ke rumahnya. Sang suami memegang tangan istrinya sambil berkendara, diiringi ragam perasaan yang bercampur baur menuju rumah baru harapan mereka. Terutama harapan sang istri untuk menjalani kehidupan yang penuh dengan keikhlasan dan ketakwaan kepada Allah.
Setibanya disana, sang istri meminta ijin suaminya untuk memasuki kamar mereka. Kamar yang ia rindukan untuk membangung mimpi-mimpinya. Dimana di kamar itu ibadah akan ditegakkan dan menjadi tempat dimana ia dan suaminya melaksanakan shalat dan ibadah secara bersama-sama. Pandangannya menyisir seluruh ruangan. Tersenyum diiringi pandangan sang suami mengawasi dirinya.
Senyumnya seketika memudar, hatinya begitu tercekat, bola matanya yang bening tertumbuk pada sebatang mandolin yang tergeletak di sudut kamar. Wanita itu nyaris tak percaya. Ini nyatakah atau hanya fatamorgana? Ya Allah, itu nyanyian? Oh bukan, itu adalah alat musik. Pikirannya tiba-tiba menjadi kacau. Bagaimanakah sesungguhnya kebenaran ucapan orang tentang lelaki yang kini telah menjadi suaminya. Oh…segala angan-angannya menjadi hampa, sungguh ia amat terluka. Hampir saja air matanya tumpah. Ia berulang kali mengucap istighfar, Alhamdulillah ‘ala kulli halin. “Ya bagaimanapun yang dihadapi alhamdulillah. Hanya Allah yang Maha Mengetahui segala kegaiban.”
Ia menatap suaminya dengan wajah merah karena rasa malu dan sedih, serta setumpuk rasa kekhawatiran menyelubung. “Ya Allah, aku harus kuat dan tabah, sikap baik kepada suami adalah jalan hidupku.” Kata wanita itu lirih di lubuk hatinya. Wanita itu berharap, Allah akan memberikan hidayah kepada suaminya melalui tangannya.
Mereka mulai terlibat perbincangan, meski masih dibaluti rasa enggan, malu bercampur bahagia. Waktu terus berlalu hingga malam hampir habis. Sang suami bak tersihir oleh pesona kecantikan sang istri. Ia bergumam dalam hati, “Saat ia sudah berganti pakaian, sungguh kecantikannya semakin berkilau. Tak pernah kubayangkan ada wanita secantik ini di dunia ini.” Saat tiba sepertiga malam terakhir, Allah ta’ala mengirimkan rasa kantuk pada suaminya. Dia tak mampu lagi bertahan, akhirnya ia pun tertidur lelap. Hembusan nafasnya begitu teratur. Sang istri segera menyelimutinya dengan selimut tebal, lalu mengecup keningnya dengan lembut. Setelah itu ia segera terdorong rasa rindu kepada mushalla-nya dan bergegas menuju tempat ibadahnya dengan hati melayang.
Sang suami menuturkan, “Entah kenapa aku begitu mengantuk, padahal sebelumnya aku betul-betul ingin begadang. Belum pernah aku tertidur sepulas ini. Sampai akhirnya aku mendapati istriku tidak lagi disampingku. Aku bangkit dengan mata masih mengantuk untuk mencari istriku. Mungkin ia malu sehingga memilih tidur di kamar lain. Aku segera membuka pintu kamar sebelah. Gelap, sepi tak ada suara sama sekali. Aku berjalan perlahan khawatir membangunkannya. Kulihat wajah bersinar di tengah kegelapan, keindahan yang ajaib dan menggetarkan jiwaku. Bukan keindahan fisik, karena ia tengah berada di peraduan ibadahnya. Ya Allah, sungguh ia tidak meninggalkan shalat malamnya termasuk di malam pengantin. Kupertajam penglihatanku. Ia rukuk, sujud dan membaca ayat-ayat panjang. Ia rukuk dan sujud lama sekali. Ia berdiri di hadapan Rabbnya dengan kedua tangan terangkat. Sungguh pemandangan terindah yang pernah kusaksikan. Ia amat cantik dalam kekhusyu’annya, lebih cantik dari saat memakai pakaian pengantin dan pakaian tidurnya. Sungguh kini aku betul-betul mencintainya, dengan seluruh jiwa ragaku.”

Seusai shalat ia memandang ke arah suaminya. Tangannya dengan lembut memegang tangan suaminya dan membelai rambutnya. Masya Allah, subhanallah, sungguh luar biasa wanita ini. Kecintaannya pada sang suami, tak menghilangkan kecintaannya kepada kekasih pertamanya, yakni ibadah. Ya, ibadah kepada Allah, Rabb yang menjadi kekasihnya. Hingga bulan kedepan wanita itu terus melakukan kebiasaannya, sementara sang suami menghabiskan malam-malamnya dengan begadang, memainkan alat-alat musik yang tak ubahnya begadang dan bersenang-senang. Ia membuka pintu dengan perlahan dan mendengar bacaan Al-Qur’an yang demikian syahdu menggugah hati. Dengan perlahan dan hati-hati ia memasuki kamar sebelah. Gelap dan sunyi, ia pertajam penglihatannya dan melihat istrinya tengah berdoa. Ia mendekatinya dengan lembut tapi cepat. Angin sepoi-sepoi membelai wajah sang istri. Ya Allah, perasaan laki-laki itu bagai terguyur. Apalagi saat mendengar istrinya berdoa sambil menangis. Curahan air matanya bagaikan butiran mutiara yang menghiasi wajah cantiknya.
Tubuh lelaki itu bergetar hebat, kemana selama ini ia pergi, meninggalkan istri yang penuh cinta kasih? Sungguh jauh berbeda dengan istrinya, antara jiwa yang bergelimang dosa dengan jiwa gemerlap di taman kenikmatan, di hadapan Rabbnya.

Lelaki itu menangis, air matanya tak mampu tertahan. Sesaat kemudian adzan subuh. Lelaki itu memohon ampun atas dosa-dosanya selama ini, ia lantas menunaikan shalat subuh dengan kehusyuan yang belum pernah dilakukan seumur hidupnya.
Inilah buah dari doa wanita shalihah yang selalu memohonkan kebaikan untuk sang suami, sang pendamping hidup.
Beberapa tahun kemudian, segala wujud pertobatan lelaki itu mengalir dalam bentuk ceramah, khutbah, dan nasihat yang tersampaikan oleh lisannya. Ya lelaki itu kini telah menjadi da’i besar di kota Madinah.
Memang benar, wanita shalihah adalah harta karun yang amat berharga dan termahal bagi seorang lelaki bertakwa. Bagi seorang suami, istri shalihah merupakan permata hidupnya yang tak ternilai dan “bukan permata biasa”.

(Dari kumpulan kisah nyata, Abdur Razak bin Al Mubarak)
Sumber: Oaseimani.com
Semilir angin berhembus di kesunyian. Sunyi yang kuharapkan akan memberikan ketenangan dalam membuat suatu keputusan. Sungguh sangat sulit mengambil keputusan itu. Bahkan mungkin takkan mampu ku penuhi permintaan itu. Ku lihat dan ku baca lagi.

“Ukhti, sekiranya tidak merepotkan Anti, sudilah Ukh memilihkan buat saya perhiasan dunia yang akan menggenapkan dien saya. Pasangan yang akan menghantarkan dan menyertai saya hingga ke jannah-Nya !”

Sejenak ku alihkan pandanganku dari untaian tulisan itu. Sunyi mulai menepi berganti gemersik dedaunan seolah ingin memberikan satu jawaban. Segenap pikiran mulai ku curahkan, mencoba mencari jawaban dari setiap kata yang ia tuliskan.

“Afwan, mungkin kedatangan surat ini cukup mengagetkan Anti. Bisa jadi pula ukhti memandang prosedur seperti ini kurang tepat. Tapi, ukh sendiri mungkin tahu bagaimana fisik murobbiku saat ini. Astagfirullah, bukan maksud saya memandang lemah semangat beliau karena fisik. Tapi kecelakaan lalu-lintas yang dialami beliau sebulan lalu menyebabkan saya tidak tega untuk meminta pertolongannya saat ini. Sedangkan saya butuh keputusan segera karena alhamdulillah saya mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi ke luar negeri dalam tahun ini. Ukhti teman lama yang sudah saya kenal, jadi kepada ukhtilah saya percaya dan berani meminta bantuan.”

Akhi…ya saya bisa memahami apa yang akhi rasakan. Tapi bukan karena keberatan memberi bantuan. Bukan pula karena ketidakpercayaan saya pada akhi. Ada hal lain yang sulit dimengerti. Entah kenapa akhir-akhir ini perasaanku ada yang berbeda. Ya Allah…, kenapa hati ini senantiasa bergetar ketika mendengar namanya. Bukankah selayaknya getaran ini muncul ketika mendengar nama-Mu?

Ku simpan kembali secarik kertas yang memberi bekas di hatiku. Ada luka. Kenapa bukan kepadaku, kenapa malah minta bantuanku? Ingin rasanya aku berikan secarik kertas tersebut pada murobiyahku. Angan melayang membayangkan indahnya tawaran murobiyah untukku. Sungguh…kan kuterima tanpa syarat!. Astaghfirullah…ada apa ini?

Sudah seminggu surat tersebut mengendap di kamarku. Hampir setiap saat kubaca tapi tak pernah sanggup ku jawab. Keegoisanku tetap bertahan. Aku tak rela jika mutiara hati yang telah lama bersemi ku tawarkan pada orang lain. Sungguh aku ingin memilikinya sendiri. Hanya untukku.

Surat kedua ? Hatiku berdegup keras menerima surat ini. Perlahan ku buka dan ku baca.

“Puji syukur saya panjatkan pada Ilahi Robbi. Ukhti, setelah beberapa lama berfikir keras, akhirnya ada satu penyesalan. Sungguh penyesalan yang sangat besar. Afwan, semoga ukhti belum mendapatkan bidadari yang ku inginkan. Saya cabut kembali permintaan surat pertama. Sungguh saya minta maaf. Mohon Ukh tidak marah atau kecewa atas kelancangan surat tersebut.”

Akhi, tak ada sedikitpun kemarahanku padamu. Ia hanyalah harapan yang kian padam. Perisai-perisai diri ini semakin pecah karena resah akan lepasnya sang panah. Panah yang ku harap tertancap pada diriku. Tepat di atas ulu hatiku yang telah lama memendam rindu. Rindu untuk bersatu yang tak pernah berani ku tawarkan padamu. Bukanlah engkau yang bersalah, tetapi akulah yang terlalu egois mengutamakan perasaanku.

***


“Nisa, kenapa sih akhir-akhir ini kami kelihatan tidak fokus?“ Anis teman liqoku tiba-tiba bertanya heran, „kamu banyak melamun akhir-akhir ini!“

“Mmm…eh tidak, tidak apa-apa.“ Jawabku pelan.

“Nisa sayang, kita sudah lama berteman. Hmm, nyaris lima tahun semenjak masuk kuliah dulu. Di majelis kholaqoh ini pula kita disatukan. Kasih sayang Allah telah menjadikan kita sudah seperti saudara. Jadi jika ada masalah, seandainya itu baik buat kamu, saya siap menjadi tempat curahan segenap isi hatimu!”.

Deras air mengalir dalam kegundahan hatiku. Tak terbendung dalam diriku sehingga menetes keluar di antara kedua mataku. Aku menunduk tak berdaya.

“Jika itu berat buat ukhti, marilah kita pikul sama-sama beban itu!“ satu ketegasan tawaran terlontar lagi di mulut sahabatku. Sungguh iman telah menjadikan kita seperti saudara, “Silahkan ukh, saya siap menjadi pendengar yang baik!“

“Anis, beban berat ini tak pantas disandang oleh orang lain karena ini hanyalah penyakit hati. Sungguh malu saya ini tatkala orang lain disibukkan dengan perjuangan-perjuangan dakwah, sedang aku memikirkan hal-hal yang rendah!“

“Sayang, sekecil atau sebesar apapun masalah, semuanya bisa merusak jalan dakwah jika tidak dianggap sebagai bagian dari dakwah!“ tatapan tajam Nisa menusuk ulu hatiku.

“Sampaikanlah apa masalahmu, jika malu anggaplah aku ini cermin sehingga engkau merasa bebas mencurahkan isi hatimu, bukankan kamu bilang kalau kamu suka berbicara sendiri di depan cermin?“

“Jazakillah ukh, rahmat Allah semoga senantiasa menyertaimu!“ Jawabku.

Seraya menatap lembaran mushaf di depan kami, akhirnya aku ceritakan keadaan yang menimpaku saat ini. Anis hanya terdiam dan kadang-kadang mengangguk-angguk sambil mengusap-usap punggungku sehingga membuatku nyaman untuk bercerita.

***
Dua minggu telah berlalu. Hari ini kami mengadakan pengajian gabungan. Alhamdulillah, ini biasanya momen yang paling aku tunggu karena saya bisa bertemu dengan rekan-rekan pengajian lainnya. Biasanya dalam pengajian tersebut, posisi duduk teman satu kelompok liqo’ dipisahkan dengan alasan supaya kami lebih berbaur dengan kelompok lain.

Pengajian gabungan kali ini diisi oleh murobbiyahku sendiri, Teh Nizma. Ada hal yang lebih menarik dari pengajian gabungan kali ini, yaitu tema yang diangkat adalah „Menjadi Bidadari“. Entah kenapa setiap ada tema yang berkaitan dengan materi merah jambu, semua akhwat selalu antusias mengikutinya. Mungkin memang sudah masanya.

Sebagai sosok murobbiyah yang sekaligus ibu rumah tangga, dalam penyampaian materi ini Teh Nizma terlihat terampil sekali. Alur materi mengalir lancar dan mudah dimengerti. Kadang diselingi canda yang membuat kami semakin antusias mendengarkannya.

Seperti biasa setelah selesai materi, sesi berikutnya adalah tanya jawab. Banyak sekali yang mengajukan pertanyaan. Dari sekian banyak pertanyaan tersebut, ada satu pertanyaan yang menggelitik pikiranku.

“Teh, hehe…afwan, kadang ada keinginan dalam diri saya untuk menawarkan diri agar dinikahi kepada ikhwan yang benar-benar saya cintai. Apakah hal ini merupakan perbuatan yang tercela mengingat kita berposisi sebagai seorang wanita?” tanya penanya tersebut penuh percaya diri. Kontan saja pertanyaan ini membuat peserta lainnya saling melirik dan tersenyum simpul penuh makna. Ada juga yang mengangguk-angguk tanpa sadar seolah-olah dirinyalah yang bertanya. Aku pun memberikan reaksi berbeda. Bingung dan malu. Entah kenapa aku merasakan bahwa akulah sang penanya yang sebenarnya.

***
“Hmm…silahkan cari, adakah hukum yang melarang seorang akhwat untuk nembak duluan?“ Mba Nizma balik bertanya.

“Eh…hmm…ya…nggak ada sih, atau…eh nggak tahu deh Mbak, hehe!“ Jawab si penanya kelihatan gugup.

Kutengok sosok penanya tersebut. Ya ampun, ternyata Anis yang menanyakan hal itu. Kenapa sosok pendiam itu berani bertanya hal seperti itu? Apa dia memang punya niat demikian, atau…entahlah.

“Adekku sekalian, jika penawaran diri seorang wanita untuk dinikahi oleh laki-laki yang soleh merupakan suatu kehinaan, maka tidak akan pernah ada penawaran diri dari seorang Ummahatul Mukminin, Siti Khadijah, untuk dinikahi oleh Rasulullah SAW melalui perantaranya saat itu. Bukankah dia ini sosok wanita yang mulia? Atau kita menganggap diri kita lebih mulia dari wanita ahli jannah seperti beliau?“ tegas sekali Mba Nizma menjawab pertanyaan tersebut.

“Kita tengok kisah lain, Maimunah Binti Harits. Dia datang menemui Nabi SAW, masuk Islam dan meminta agar Rasullullah menikahinya. Akibatnya, banyaklah orang Makkah merasa terdorong untuk merima Islam dan nabi SAW. Bukankah itu juga merupakan tindakan yang cerdas dan mulia? Padahal saat itu usia beliau adalah 36 tahun sedangkan Rasulullah 60 tahun!”

Semua peserta kelihatan manggut-manggut tanda setuju.

“Jika ada diantara adek-adek yang malu melakukannya sendiri, insya Allah, teteh siap menampungnya!“ canda Teh Nizma sambil tersenyum penuh makna, “atau jika malu sama teteh, silahkan minta pada orang tuanya masing-masing untuk dijodohkan sama orang yang didambakan. Insya Allah, orang tua pun tidak akan pernah hina jika dia menawarkan putrinya sendiri kepada seorang laki-laki yang sholeh. Bukankah Umar Bin Khattab melakukan hal yang sama untuk putrinya, Hafsah, sehingga putri beliau menjadi seorang istri bagi baginda yang mulai Rasulullah SAW.“

Tatapan Teh Nizma berputar ke seluruh peserta.

“Selama prosedur penawarnya dilakukan dengan baik dan tata cara yang benar, tentu saja tidak ada larangan sama sekali untuk melakukan hal itu.“

Situasi mendadak hening. Semuanya terlihat merenung. Hanya senyum simpul yang semakin mengembang yang nampak di wajah Teh Nizma.

Entah kenapa, tiba-tiba saja dalam diriku muncul tekad yang kuat untuk mengutarakan permasalahanku pada Teh Nizma. Sungguh, aku ingin menawarkan diriku pada seorang Bidadara pujangga hatiku. Aku tidak akan pernah merasa malu. Ini lebih baik daripada aku menyesal seumur hidupku.

Setelah pengajian berakhir, kucoba untuk menghampiri Teh Nizma yang saat itu masih dikerubuti oleh teman-teman yang masih memberikan pertanyaan tambahan. Ada kecemburuan di hatiku melihat keberanian dan keterbukaan teman-teman terhadap murobbiyah pribadiku. Seandainya itu aku, sahutku pelan sambil melamun.

***
“Nisa, tolong jangan pulang dulu ya sebentar, saya ada perlu!“ teriak Mba Nizma agak keras memotong lamunanku.

“Oh….iya Mba!” jawabku setengah berteriak juga karena saat itu situasinya masih agak rebut oleh teman-teman yang salam-salaman sebelum pulang.

Akhirnya, tinggal kami berdua yang masih berada di Masjid ini. Dengan sedikit keraguan, aku pun mulai membuka pembicaraan sama Teh Nizma.

“Afwan Teh, …sebenarnya saya juga ada perlu sama teteh. Begini,…eh tapi silahkan teteh saja dulu!“

“Loh, kenapa? Silahkan Nisa aja dulu!“

“Ah engga deh, silahkan teteh dulu!“

“Baiklah kalau begitu, Nisa, di antara anak binaan teteh, masih ada dua orang yang belum menikah, hanya kamu dan Anis!“

Deg, jantungku berdegup keras mendengar kata-kata ini.

“Kalau Anis sebenarnya sudah beberapa bulan yang lalu menyatakan diri siap untuk menikah. Bahkan katanya dengan siapapun asal laki-lakinya sholeh, dia siap untuk menjadi pendamping hidupnya. Yah bisa dimengerti sih kondisi dia. Dia anak paling besar di keluarganya. Sementara dua adiknya yang perempuan sudah menikah. Jadi mungkin kriteria yang benar-benar ditonjolkannya adalah kesholehan laki-laki calonnya. Tapi, insya Allah, tentu saja teteh tidak akan mengabaikan hal-hal lainnya.“

Aku hanya manggut-manggut mendengar penjelasan murobbiyahku itu.

“Nah teteh sama sekali bukan bermaksud mendesak kamu. Sungguh teteh hanya ingin mengetahui sikap kamu mengenai hal ini.“ Lanjut Teh Nizma.

“Enggak apa-apa kok teh. Insya Allah, saya mengerti kondisi ini.“

***
“Begini, sebenarnya teteh mendapatkan seorang calon suami yang insya Allah kita sama-sama mengetahui bagaimana perjuangan beliau dalam dakwah ini. Sosok laki-laki yang mampu berprestasi di kampusnya walau dirinya benar-benar disibukkan dalam aktifitas dakwah.“ Terang Teh Nizma. Aku pun hanya terdiam menjadi pendengar yang baik sambil menebak-nebak sosok yang dimaksud.

“Sebenarnya sosok laki-laki tersebut sudah ditawarkan ke Anis tiga minggu yang lalu. Saat itu dia bilang akan mempertimbangkannya dan minta waktu selama satu minggu. Tapi dari sorot matanya terlihat ada binar-binar kegembiraan yang luar biasa. Namun entah kenapa satu minggu kemudian tiba-tiba saja dia menolaknya. Nah, sekarang tinggal Nisa anak binaan teteh yang belum nikah. Jika tidak bersedia, saya akan coba berinteraksi dengan murobbiyah yang lain, bagaimana?”

Aku berfikir keras mendengar tawaran tersebut. Sebenarnya aku sendiri saat ini tidak mau ditawari oleh orang lain. Bahkan oleh murobbiyah atau orang tuaku sendiri. Sungguh hatiku saat ini tidak bisa menerima ikhwan lain selain teman lamaku. Si penulis surat yang tak pernah mampu ku jawab. Dialah yang senantiasa mengisi ruang hatiku.

“Bagaimana ukh, kalau berminat, saya akan menunjukan biodata berikut foto dari yang bersangkutan sekarang?“ tanya Teh Nizma.

“Mmm…sebenarnya begini, afwan…saya sudah…eh, nggak, …” aku benar-benar kebingungan untuk menyampaikan hal itu.

“Baik, kalau belum siap juga tidak apa-apa kok.” Senyuman tersungging di bibir Teh Nizma.

“Eh maksud saya begini teh. Boleh nggak saya melihat biodatanya sekarang?” tanyaku konyol.

“Wah, Anis ini gimana sih, kan tadi teteh juga bilang memang mau diberikan sekarang, aneh juga ya!” Jawabah Teh Nizma yang membuatku semakin gugup.

Satu lembar amplop putih dikeluarkan dari tas hitam Teh Nizma. Dia serahkan amplop tersebut disertai dengan tatapannya yang tajam ke arahku. Dengan tangan bergetar, kuterima amplop itu.

“Silahkan mau dibuka di sini atau di rumah juga tidak apa-apa!”

***
“Eh nggak teh, di sini saja.” Jawabku. Sengaja aku tidak ingin menundanya karena saat ini juga keinginanku begitu menggebu untuk memberitahukan calon pilihanku sendiri.

Tanganku semakin bergetar ketika perlahan amplop tersebut kubuka. Kebetulan yang kubaca adalan baris terakhir dari tulisan pemberi amplop.

Pasangan yang diinginkan adalah sesosok calon bidadari yang akan menghantarkan dan menyertaiku hingga jannah-Nya.

Sebelum sempat kubaca bagian-bagian lainnya, tiba-tiba ada satu lembar foto yang jatuh tepat dipangkuanku.

Ya Rabb! subhanallah…! Sungguh tiada kata-kata yang keluar saat itu kecuali pujian agung atas-Mu. Foto tersebut adalah sosok yang ku impikan selama ini.

“Bagaimana Ukh?” Tanya Teh Rizma.

Aku tidak mampu menjawab. Hanya uraian air mata syukur yang kian deras mengalir.

“Ingat loh Ukh, diamnya seorang gadis itu tanda setuju!” Teh Nizma semakin menggodaku,

”Sebenarnya ikhwan yang bersangkutan sudah mengetahui seminggu yang lalu mengenai siapa calon akhwat yang akan menerima amplop ini. Ketika itu, tanpa kami duga, ikhwan tersebut langsung bersujud sambil menangis dia berdoa pelan. Sepertinya dia sangat berharap tuh!“

Aku semakin memaku. Diam dalam uraian air mata. Perlahan ku buka bagian atas biodata tersebut. Di sana tertulis suatu harapan dan tawaran;

Sepenggal khitbah buat akhwatfillah

Rabb!!..Aku langsung tersujud. Rasa syukur ini begitu membucah. Sehingga tak cukup rasanya bibir ini memuji-Mu. Di tempat suci ini, aku bersujud pada-Mu sebagai rasa syukur atas nikmat yang tiada pernah mampu kami ukur.

“Robbi auzi’nii an asykura ni’matakallatii an’amta ´alayya wa’alaa waa lidayya wa an-a’mala shaalihan tardhaahu wa adkhilnii birohmatika fii ´ibaadikashshaalihiin, amin.”

Ditulis oleh Yudhie andriyana dengan editan judul dan kata seperlunya.
Sumber: oaseimani.com
"Guru ... saya ingin bertanya bagaimana cara menemukan pasangan hidup ? Bisakah membantu saya?"tanya seorang murid kepada gurunya di suatu ketika.
Gurunya diam sesaat kemudian menjawab ..." Itu pertanyaan yang gampang - gampang susah "
Pemuda itu di buat bingung oleh jawaban gurunya
" Begini ... coba kamu lihat ke depan, banyak sekali rumput disana ... coba kamu berjalan kesana
tapi jangan berjalan mundur, tetap berjalan lurus ke depan, ketika berjalan coba kamu temukan sehelai rumput yang paling indah kemudian berikan kepada saya .. tapi hanya sehelai rumput "Pinta Sang guru kepada murid.
Pemuda itu berjalan menyusuri padang rumput yang luas. Dalam perjalanan itu dia menemukan sehelai rumput yang indah namun tidak di ambilnya karena dia berfikir akan menemukan yang lebih indah. dan tanpa pemuda itu sadari, ia telah sampai di akhir padang rumput. Pada akhirnya dia mengambil sehelai rumput yang paling indah yang ada di sekitarnya kemudian kembali ke gurunya
"Ini Guru" Ucap pemuda itu sambil menyodorkan sehelai rumput yang ia ambil
"Saya tidak melihat ada yang spesial pada rumput yang ada di tanganmu " kata Sang guru
"Dalam perjalanan saya menyusuri padang rumput tadi, saya menemukan beberapa helai rumput yang indah, namun saya berfikir saya akan menemukan yang lebih indah dalam perjalanan saya. Tetapi tanpa saya sadari saya telah berada di akhir padang rumput dan kemudian saya mengambil sehelai rumput yang paling indah yang ada di akhir padang rumput itu karena guru melarang saya untuk kembali."jelas pemuda itu pada gurunya.
Guru menjawab dengan tersenyum " Itulah yang terjadi di kehidupan nyata "
* Rumput andaikan orang - orang yang ada di sekitarmu
* Rumput yang indah bagaikan orang yang menarik perhatianmu
* Padang rumput bagaikan waktu
 
"Dalam mencari pasangan hidup, jangan selalu membandingkan dan berharap bahwa ada yang lebih baik. Karena dengan melakukan itu ... kamu telah membuang buang waktu ... dan ingat Waktu Tidak Pernah Kembali "

Tips Mendidik Anak

Anak adalah harta yang sangat berharga bagi pasangan sumai istri. Bagi sebagian orang, kehadiran seorang anak pada sebuah keluarga baru dapat mengeratkan ikatan cinta antara suami dan istri.  karena sangat berharganya nilai seorang anak, maka sebagai orang tua hendaknya kita dapat memberikan yang terbaik untuknya. Tidak hanya terbaik dalam penyediaan fasilitas, makanan n minuman, kasih sayang tapi juga dalam hal pendidikan. Tidak hanya pendidikan formal tapi juga pendidikan sejak dini. Mendidik anak sejak dini sangat menentukan bagaimana perkembangan kedewasaan anak. Sebagai orang tua apapun tingkah laku kita akan dilihat oleh anak dan dijadikan contoh perilaku anak, baik yang baik maupun yang buruk sekalipun. Karena pada dasarnya anak berumur dibawah lima tahun rasa ingin tahu dan belajarnya sangat tinggi. Daya ingat bagi anak di bawah lima tahun sangat tajam dan sebagai orang tua sudah layaknya memberikan cotoh dalam kehidupan sehari-hari pada kegiatan-kegiatan yang positif. Sebagai contoh bila orang tua suka membaca, atau suka menulis atau suka berolah raga  dan sebagainya, si anakpun cenderung akan mencontohnya.

Berikut ini beberapa tips dalam mendidik anak ala Shirahama Sensei yang saya dapatkan dari blognya Bu Juariyah. Lets check it out!

1.Anak yang diijime (ditindas) akan tumbuh menjadi orang yang suka menindas. Anak yang disayang akan tumbuh menjadi Manusia penyayang. Anak yang senantiasa dihargai akan tumbuh menjadi orang yang menghargai.
2.Perbedaan anak yang selalu dibantu dengan anak yang tidak selalu dibantu adalah anak yang tidak selalu dibantu akan tumbuh menjadi anak yang lebih mandiri. Contoh ; Bila sejak kecil saat menangis kita selalu dan selalu menghampiri maka bukan tidak mungkin dia akan selalu bergantung dan saat mendapatkan kesulitan sedikit saja yang dia lakukan adalah menangis dan terus menangis.Akan tetapi bila sekali waktu kita biarkan (tidak selalu menghampiri) sambil kita lihat keadaannya dari jauh dalam kondisi aman-aman saja, dan ini sering kita lakukan maka anak akan menjadi seorang yang bebas dan akhirnya memutuskan masalahnya sendiri yang pada akhirnya akan menjadi anak yang mandiri.
3. Tiga alasan yang sering diucapkan oleh orang tua saat melarang anak adalah ;
A : ABUNAI artinya Berbahaya.
K : KITANAI artinya Kotor  
U : URUSAI artinya Berisik
Bukan tidak mungkin kita sering mengucapkan kata-kata diatas, dan secara tidak sengaja kita telah membatasi proses kreatifitas anak dengan alasan-alasan diatas oleh karena itu cobalah untuk menghindari kata-kata tersebut.Bila tidak memungkinkan kita bisa menjelaskan kenapa kita melarang dengan menjelaskan alasannya dan ajak anak mendiskusikannya.
Contoh : Ayo kenapa ngak boleh main bola di jalan? karena bahaya jawab anak. Kenapa bahaya? karena nanti ada mobil lewat dst dst. Yang terpenting adalah ajak anak berdiskusi tentang keputusannya.
4. Saat anak menjelang usia dua tahun anak selalu bilang "Jibun de dekiru!" "Aku bisa sendiri" baik saat ingin pakai sepatu kaus kaki, baju dan sebagainya. Biarkanlah karena itu adalah AWAL DARI KEMANDIRIANNYA.
5. Amaeru wa daiji shikasi amaekasu wa shinaiyo : Menyayangi itu penting akan tetapi jangan memanjakan.
6. Cara Marah (baca menghadapi anak saat kita kesal) pada anak :
    - Kuraberuna ; Jangan membandingkan. 
    - Kodomo nimo puraido wo motsu ; Anak memiliki harga diri, Jadi jagalah harga dirinya.
    - Dokudoku iwanaide ; Jangan merepet (ngak berenti kayak kereta) ngomongnya.
    - Kodomo ga homerareteiru Berikanlah Pujian pada anak (Saat anak usia 1-3 tahun anak senang  dipuji) setelah dipuji biasanya
      dia akan lebih mudah menerima masukan.    
    - Sippaitoki mo Homerubekida : Saat gagal sekalipun jangan dimarahi tapi HARUS di puji.
         Contoh : Saat pakai sepatu terbalik yang pertama kita ucapkan adalah kesalahannya   "Sore hantaidayo!" "Itu terbalik!" bukan berupa pujian karena usahanya yang telah mencoba pakai sepatu sendiri. Usahakanlah memujinya terlebih dahulu untuk kemudian baru memberitahukan kalau pakai sepatunya terbalik.  
      -  Kodomo no kotoba wo kurikaesu : Mengulang ucapan anak.
       Contoh : Saat anak jatuh dia berkata "Sakit!" maka kita jawab "Sakit yah?"
        Atau ada kisah lucu saat kita bersama anak pergi kekebun binatang kemudian anak berkata "Tanoshikatanee, ashita mata kurunee okaasan!"  "Seneng banget! besok datang lagi kesini (kebun binatang) ini lagi yah Mah". Kita mungkin akan berkata "Ashita kuru wake nai deshou,ashita gakkoy deshou,....,.....?!" " Besok Ngak mungkin lah kita kesini lagi, Besok sekolah kan?,....,...dst" . Padahal apa salahnya kita berkata "Sou nee Tanoshikatta nee,Mama mo mata koko ni kitainaa",..." Iya yah seneng yah, mama juga pingin deh datang lagi". Tidak ada janji dan tidak ada bohong dalam kata-kata diatas hanya ungkapan senang karena anak juga senang. dan itu artinya Anda sudah menghargai pendapatnya bahwa pergi kekebun binatang itu menyenangkan.
7.Seringlah mengucapkan kata-kata berikut :
   - Ureshii : Senang 
   - Tanoshii : menyenangkan

   - Shiawase : bahagia
   -  Daisuki  : sangat senang (pada....)
   - Aishiteiru : sayang/cinta
   - Arigatou  : Terimakasih
   - tsuiteiru   : Beruntung       
Banndingkan dengan kata-kata dibawah
   - Tsurai : susah
   - kanashi : sedih
   - Tsumaranai : membosankan
   - Iyada  : Sebel/menyebalkan/tidak mau.
   - Kiraida : Tidak suka.
   - Tsukareta : Cape
  -  Tsuiteinai : Tidak beruntung.
Cobalah berkaca pada diri sendiri mana yang sering kita ucapkan pada anak kita, mungkin saat anak pulang sekolah yang pertama kita ucapkan "Mama  lelah, kamu jangan nakal yah, mainnya jangan berantakan yah mama cape dsb". Latihlah diri kita untuk mengucapkan kata-kata yang menyenangkan contoh "Wah Mama rindu sekali sama kamu, hari ini kamu gimana disekolah? menyenangkan?" atau "Mama senang sekali bisa ketemu kamu lagi, mama cinta deh sama kamu dsb".
Satu lagi lihatlah wajah kita saat kata-kata yang menyenangkan yang sering kita ucapkan maka akan terpancar kebahagiaan dalam wajah kita pada anak berbeda jauh bila kata-kata yang dibagian bawah diatas yang sering kita ucapkan yang ada rasa sesal, penat dan lelah pada diri kita yang akhirnya timbul akibat yang tidak menyenangkan pada anak.
8. Minat atau ketertarikan pada suatu hal (興味の進点化=kyoumitenka) ditambah dengan pengalaman konsentrasi (熱中体験= shuchuutaiken) akan meningkatkan Kekuatan konsentrasi (Shuchuryoku集中力).
Jadi bila kita ingin menyuruh atau bicara pada anak lihatlah apa yang sedang dia lakukan, apabila kita sering memotong aktifitasnya misal dia sedang main balok kemudian kita bilang "ayo sebentar lagi kamu les piano, atau abis itu kamu belajar bahasa inggris lalu ini lalu itu dst dst" Bisa jadi kemampuan konsentrasinya terus terganggu yang pada akhirnya akan mengurangi kemampuan konsentrasi otaknya karena terlalu banyak perintah dan interupsi.
9. Marah itu tidak ada gunanya baik bagi anak maupun bagi kita orang tuanya. yang ada kita lelah anakpun jadi stress dibuatnya.
10. Tahu kanji otona 大人 (Orang Dewasa)? dulunya kanji ini ditulis 音無 (kanji oto=suara dan kanji nai=tidak ada) artinya ngak bersuara itu artinya sebagai orang dewasa JANGAN RIBUT! JANGAN BERISIK!  apalagi sering ngomel, hehehe...
Ijoudesu, (cukup yah)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Kabar Pernikahan

Siang itu waktu memasuki waktu dhuhur. Aku dan teman-teman pun menghentikan acara kami dan beranjak ke tempat wudhu untuk persiapan sholat. Waktu lagi ngantri wudlu tiba-tiba ada adik kelas yang nyletuk
“kakak kelas ku mau nikah yam mbak? ”tanya Risa dengan suara lembutnya
“Iya ta dik?”Tanyaku kembali pada Risa dengan nada terkejut yang kusadari agak berlebihan
”Kenapa mbak anti kok kaget banget? ”Tanya Andin yang mengetahui reaksiku
”Eng.....ga papa dek. Kaget aja. Ga nyangka Bagas akan nikah secepat itu. Tapi ya siapa tahu sih emang bener. Anti tahu dari mana dik Risa?
“Dari orang-orang asrama, di asrama tuh sudah heboh berita ini mbak. Kirain mbak-mbak sudah tahu.”jawab Risa panjang lebar.
Dalam hati aku bersyukur, untung tidak ada yang tanya macam-macam karena reaksiku tadi. Terasa kaget benar saat aku mendengar kabar tadi. Di kepalaku langsung terlintas lagunya ahmad dani. Hancur hatiku......na..na..na (ga tahu lanjutannya). Seketika itu aku sadar bahwa aku akan kecewa, sedih dan perasaan negatif lainnya ketika kabar itu benar adanya dan aku masih menyimpan harapan untuk bisa bersanding dengannya. Orang yang belakangan ini mengusik hatiku. Dalam doa usai sholatku aku memohon pada Allah agar aku bisa menghilangkan perasaanku pada Bagas, tidak sering membicarakan apalagi membayangkannya.
“Ya...Allah..terimakasih engkau telah memberi rasa cinta pada hamba yang sempat membuat hamba lebih bersemangat menjalani hidup, yang membuat hamba lebih dekat denganMu. Ya Allah kini hamba sadar bahwa rasa cinta itu belum halal untuk hamba. Hamba tak mau terlalu terluka ketika takdirMu mengatakan bahwa dia bukan untuk hamba. Hamba tidak mau itu terjadi ya Allah. Mulai detik ini hamba titipkan rasa ini padaMu. Akan hamba biarkan Engkau menjaganya dan mengembalikannya pada hamba di waktu yang telah Engkau tetapkan jika memang Engkau berkehendak.Ya Allah semoga Engkau mengabulkan doa hamba. Amin.”
Sejak saat itu ku tak lagi memikirkan Bagas. Harapan untuk menjadi istrinya pun terbungkus indah dalam doa yang telah kupanjatkan pada Yang Maha Kuasa.
                                                        
                                                            ################

Siang ini matahari sangat menyengat kulit, aku putuskan untuk istirahat di masjid dulu setelah sholat dhuhur. Mendinginkan otak dulu setelah satu jam memanas saat menghadapi pertanyaan-pertanyaan kuis Fisika zat Padat 2 tadi. Selain itu aku ingin lebih lama bercengkeramah dengan Sang Pencipta, Yang memiliki diriku.
Setelah lima belas menit istirahat, kini aku merasa lega. Gerahku sudah hilang. Jam dinding masjid menunjukkan pukul 12.45 WIB. Aku harus bergegas ke jurusan untuk melaksanakan tugasku sebagai asisten praktikum fisika dasar 1. Kali ini aku mengasisteni mahasiswa tingkat 1 jurusan Teknik Fisika. Agak ribet juga menangani mahasiswa yang mayoritas cowok itu. Walaupun begitu aku senang saat mendampingi pereka praktikum. Mereka rata-rata cerdas dan kritis. Dan aku hampir bisa akrab dengan mereka setelah beberapa kali kami bertemu.
Usai praktikum, mereka pun berkumpul ke mejaku untuk mendapatkan brifing tentang laporan praktikum yang harus dikumpulkan minggu depan. Setelah mereka merasa jelas dengan penjelasanku tentang laporan itu. Mereka bergegas pulang, tapi ada beberapa orang yang masih di depan mejaku. Katanya mau ngobrol denganku.
”Mbak Aisyah aktif di UKKI ya mbak?”Tanya Fito tiba-tiba
”Iya, kenapa Fit?ayo kalau mau gabung!jawabku”
”Ga kenapa-kenapa mbak. Berarti mbak kenal mas Bagas dong. Dia kan sekum UKKI. Dia mentor ku lho mbak.”Jelasnya
Hatiku tersentak saat Fito menyebut nama itu, nama yang tidak asing di telingaku.
”Kenal” Jawabku singkat
Fito langsung terus nerocos melanjutkan ceritanya tentang Bagas tanpa ku minta.
”Dia tu keren banget ya mbak... Sudah alim, pinter, jadi MAWAPRES. Pokoknya TOP BGT deh. Aku seneng banget jadi adek mentornya”
”Ohw......Ceritanya lagi pamer mentor nih....ledekku pada Fito. Kalo kakak mentornya sekeren itu, adik mentenya harus lebih keren dong!”
”Doakan ya mbak semoga aku bisa seperti mas Bagas”
”Iya, aku doakan semoga kamu bisa seperti kakak mentormu itu, bahkan bisa lebih baik darinya.”
”Amin” ucap Fito dan teman-temannya.
Ngomongin tentang Bagas aku jadi keinget berita itu. Berita pernikahannya. Aku berniat untuk tanya pada Fito, tapi kuurungkan niatku itu. Karena aku tidak mau menggibah. Apalagi tanya-tanya tentang ikhwan, bukan aku banget. Tapi tiba-tiba Fito melanjutkan ceritanya.
”Eh mbak, emang bener ya mas Bagas mau nikah dalam waktu dekat ini? tanya Fito pelan padaku
”Ga tahu dik.Tanya aja ke orangnya. Kamu kan adik kelasnya. Pasti sering ketemu kan?”jawabku
”Sudah ya, ngomongin kakak kelas mu itu. Nanti jadi nglantur ke mana-mana. Ga boleh Ghibbah.
Fito pun tidak melanjutkan perbincangan kami dan bergegas pulang setelah lama teman-temannya menunggu.
Jam yang tergantung di dinding Lab menunjukkan pukul 16.15 WIB. Setelah mengisi absensi aku berpamitan ke teman-teman yang masih ada di sana. Setelah lima menit berjalan menyusuri tangga dari lantai tiga akhirnya aku sampai di lantai dasar. Aku langsung menuju tempat parkir untuk mengambil sepeda dan pergi menunju masjid kampus. Aku mau mengambil Buku Mutaba’ah kader yang kusimpan di loker keputrian.
Setelah lima menit dari jurusan aku sampai di masjid. Ku parkir sepedaku di depan toko masjid. Aku langsung menuju lantai 2 masjid dan mengambil buku itu. Setelah mengambill buku mutaba’ah dan merapikan loker yang isinya mulai berantakan itu, aku langsung turun mau pulang. Di depan toko masjid aku ketemu Ardita, temenku waktu TBB dulu dan kami pun akrab hingga kini. Dia juga sejurusan dengan Bagas. Ah....kenapa lagi-lagi harus menyebut nama itu. Setelah saling bersapa salam dan bercipika-cipiki, kami pun ngobrol. Tiba-tiba dari bundaran tiba-tiba datang sesosok manusia yang sudah kukenal siapa namanya. Orang yang akhir-akhir ini jadi pembicaraan orang-orang di sekitarku. Dialah Bagas. Seorang Adam yang sempat membuatku resah. Dia mendekat ke arah toko. Menghampiri bang Isa yang siang itu lagi tugas jaga di toko.
”Assalamu’alaykum Gas, yang mau nikah rek, wajahnya sumringah banget”sapa bang Isa pada Bagas yang menghampirinya.
”Wa’alaykumsalam warahmatullah”Jawab Bagas dengan senyum khasnya.
”Mana undangannya”Tanya bang Isa pada Bagas yang sedang mengambil teh botol di frezzer.
”Undangan apa bang” Jawab Bagas dengan cueknya
”Kata anak-anak, antum mau menggenapkan separuh din”
”Kalo itu pastilah bang. Itu kan sunnah Rasul. Kita-kita kan harus mengikuti sunnahnya”jawab Bagas dengan logat khasnya.
Ada sengatan kecil di hatiku ketika ku mendengar jawabannya.”jadi dia bener mau nikah? dengan siapa? kapan? pertanyaan itu beruntun menyerbu kepalaku.
”Tapi ngga waktu dekat ini Bang. Masih ada target lain yang harus diwujudkan.”
Hatiku lega mendengar jawabannya yang barusan kudengar.
”Kok ada gosip itu gimana?”tanya bang Isa yang semakin penasaran
”Itu ulah temen-temen jurusan. Itu tu salah satunya”jawab Bagas sambil menunjuk Ardita yang sedang ngobrol denganku.
Merasa dilibatkan dalam percakapan Bagas dan bang Isa, Ardita yang agak cerewet itu pun langsung ikut menimpali perbincangan mereka.
”Eh, enak aja nuduh orang penyebar gosip. Bukan aku ya yang nyebarin gosip itu.”jelas Ardita sambil sewot karena tidak terima dituduh sebagai tukang gosip.
”Sebenarnya yang mau nikah itu kakakku, bang. Eh malah aku yang digosipkan mau nikah. Tapi gapapa juga sih. Ku anggap aja itu doa buatku.”Papar Bagas menjelaskan gosip itu, jawaban indah yang membuatku lega.
Ternyata itu hanya gosip belaka. Dan aku kembali tersenyum dalam hati. Aku bersyukur karena harapan itu masih ada. Harapan untuk menjadi pendamping hidupnya. Semoga Engkau mengabulkan harapanku itu ya Allah. Amin. Dan tak sengaja ternyata aku senyum-senyum sendiri sehingga Ardita pun heran.
”kenapa ukh? Kok senyum-senyum sendiri? Hayo ada apa?”Ledek Ardita padaku
”Eng...ngga ada apa-apa ukh. Eh, sudah sore nih, aku pamit dulu ya. Assalamuálaykum warahmatullah.”
”waálaykumsalam warahmatullah”jawab Ardita
                 
                                                                 SELESAI

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Cinta adalah Sebuah Kata Kerja



Dalam makna memberi itu posisi kita sangat kuat:
Kita tak perlu kecewa atau terhina dengan penolakan,
atau lemah atau melankolik saat kasih kandas karena takdirNYA
Sebab di sini kita justru sedang melakukan
 sebuah “pekerjaan jiwa”yang besar dan agung:
MENCINTAI.
~M. Anis Matta~

“Ya Rasulallah”, kata Umar perlahan, “Aku mencintaimu seperti kucintai diriku sendiri.”
Beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam tersenyum. “Tidak wahai ‘Umar. Engkau harus mencintaiku melebihi cintamu pada diri dan keluargamu.”
“Ya Rasulallah”, kata ‘Umar, “Mulai saat ini engkau lebih kucintai daripada apapun di dunia ini.”
“Nah, begitulah wahai ‘Umar.”
Membaca kisah ini, membuat saya takjub dan bertanya. Sebegitu mudahkah bagi seorang ‘Umar bin Khaththab menata ulang cintanya dalam sekejap? Sebegitu midajkah cinta diri digeser ke bawah untuk memberi ruang lebih besar bagi cinta pada sang Nabi? Dalam waktu yang sangat singkat. Hanya sekejap. Ah, alangkah indahnya jika saya pun bisa begitu.
Bagi saya tak semudah itu. Cinta berhubungan dengan ketertawanan hati dan perasaan yang tak gampang dialihkan. Tetapi ‘Umar bisa. Dan mengapa ia bisa?
Ternyata cinta bagi ‘Umar adalah kata kerja. Maka menata ulang cinta baginya hanyalah menata ulang kerja dan amalnya dalam mencintai. Ia tak berumit-rumit dengan apa yang ada dalam hati. Biarlah hati menjadi makmum bagi kerja-kerja cinta yang dilakukan oleh amal shalihnya.
Dari sini kita bisa memahami apa yang dikeluhkan oleh Erich Fromm. “Cinta merupakan seni”, tulisnya dalam The Art of Loving. “Maka cinta memerlukan pengetahuan dan perjuangan. Sayang, pada masa ini cinta lebih merupakan masalah dicintai (to be loved), bukan mencinta (to love) atau kemampuan untuk mencintai.”
Ya. Persoalan cinta menjadi tak sederhana, karena cinta dalam latar pikir kita adalah persoalan ‘dicintai’. Itu adalah sesuatu yang di luar kendali jiwa kita. Kita dicintai atau tidak bukanlah suatu hal yang bisa kita paksakan. Dunia di luar sana punya perasannya sendiri, yang kadang secara aneh memutuskan siapa yang layak dan tak layak dicintai.
Maka mari kita sederhanakan persoalannya. Bahwa cinta, sebagaimana ‘Úmar memahaminya adalah persoalan berusaha untuk mencintai. Bahwa cinta bukanlah gejolak hati yang datang sendiri melihat paras ayu atau jenggot rapi. Bahwa, sebagaimana cinta kepada Allah yang tak serta merta mengisi hati kita, setiap cinta memang harus diupayakan. Dengan kerja, dengan pengorbanan, dengan air mata dan bahkan darah.
Di sini kalimat seorang suami yang suatu hari mengadu untuk bercerai menjadi tak relevan, “Aku sudah tak mencintainya lagi!”Justru karena kau tak mencintainya lagi, maka cintailah dia. Karena cinta adalah kata kerja. Lakukanlah kerja jiwa dan raga untuk mencintainya. Kerjakan cinta  yang ku maksudkan agar kau temukan cinta yang kau maksudkan. Karena cinta adalah kata kerja.
Di sini kalimat seorang istri yang menerima seorang lelaki karena keterpaksaan juga tak mempan. “Aku tidak mencintainya.”Engkau bisa memilih. Untuk mencintai atau membenci. Dan dalam keadaan kini, mencintai adalah pilihan yang lebih masuk akal. Bukan perasaan itu. Mungkin ia memang belum hadir. Yang kumaksudkan adalah sebuah kerja untuk mencintai. Karena cinta adalah kata kerja.
Mencintai Allah, mencintai RasullNYA, mencintai jihad di jalanNya juga berjalan di atas logika yang sama. Ia melampaui batas-batas perasaan suka dan tak suka. Mungkin ia sulit. Atau kalah dibandingkan kecenderungan hati untuk mencintai ayah, anak, saudara, istri, simpanan kekayaan, perniagaan, dan kediaman-kediaman indah. Tetapi ia mungkin dan masuk akal untuk digapai. Karena bukan ‘perasaan cinta’yang dituntut di sini. Melainkan ‘kerja cinta’.
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”(Q.S Al Baqarah: 216)
Dalam jihad, cinta menjadi sederhana. Bukan karena kita suka melihat darah tumpah, bukan karena kita menyukai anyir peperangan. Perasaan kita boleh tetap membencinya. Tapi cinta adalah sebuah kerja seperti yang terucap dalam bai’at para shahabat, “Kami siap untuk mendengar dan taat, baik dalam keadaan rela maupun malas, baik dalam suka maupun duka, dalam keadaan rela maupun terpaksa.”Inilah kerja untuk mencintai. Karena kita beriman pada Allah, karena kita percaya pada ilmuNya, dan percaya pada kebaikan-kebaikan yang dijanjikanNya.
Di jalan cinta para pejuang, cinta adalah kata kerja. Biarlah perasaan hati menjadi makmum bagi kerja-kerja cinta yang dilakukan oleh amal shalih kita.

Mentaatinya adalah niat baik dari hati yang tulus
Alirannya adalah kerja yang terus menerus

Dikutip dari  buku Jalan Cinta Para Pejuang-Salim A. Fillah

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Indahnya Menjadi Istri Shalihah

"Dunia ini adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita yang shalihah" ( H. R. Muslim)
“Tiada kekayaan yg diambil seorang mukmin setelah takwa kepada Allah yang lebih baik dari istri shalihah."[Hadits Riwayat Ibn Majah]
 
 Seperti yang disebutkan dalam hadist di atas, wanita shalihah adalah sebaik-baik perhiasan dan istri shalihah adalah kekayaan yang lebih baik setelah takwa bagi seorang mukmin. Jadi, beruntung sekali seorang laki-laki yang mendapatkan istri shalihah. Karena begitu mulianya gelar yang didapatkan oleh seorang istri shalihah, tentu besar pula imbalan yang diterima bagi seorang istri shalihah. 
Terus bagaimana caranya menjadi istri shalihah??? Insya Allah gampang koq :D. Asal mau praktek aja.. Hihii..(Ini bukan saya yang bilang).

Yuk kita sama-sama belajar bagaimana menjadi seorang Wanita sholihah itu..
 
Betapa indahnya menjadi seorang wanita shalihah, Rasulullah SAW bahkan berwasiat:

§  Wanita yang membuat tepung bagi suami dan anak-anaknya, kelak Allah tetapkan baginya kebaikan dari setiap biji gandum yang diadonnya dan Allah akan melebur kejelekan serta meningkatkan derajatnya

§  Wanita yang berkeringat ketika menumbuk tepung bagi suami dan anak-anaknya, niscaya Allah akan menjadikan antara neraka dan dirinya tujuh tabir pemisah

§  Wanita yang meminyaki dan menyisirkan rambut anak-anaknya dan mencuci pakaiannya, maka Allah tetapkan pahala baginya seperti pahala memberi makan seribu orang yang kelaparan dan memberi pakaian seribu orang yang telanjang

§  Wanita yang membantu kebutuhan tetangganya, maka Allah membantunya untuk dapat minum dari telaga kautsar pada hari kiamat kelak

§  Yang utama dari seluruh keutamaan itu adalah keridhaan suami terhadap istri. Kemarahan suami adalah kemurkaan Allah

§  Saat seorang wanita mwngandung, maka malaikat memohonkan ampunan baginya, dan Allah tetapkan baginya setiap hari seribu kebaikan serta melebur seribu kejelekan. Ketiaka seorang Wanita merasa sakit akan melahirkan, maka Allah tetapkan pahala baginya sama dengan pahala para pejuang dijalan Allah. Disaat wanita melahirkan kandungannya, maka bersihlah dosa-dosanya, seperti ketika ia dilahirkan dari kandungan ibunya. Disaat wanita meninggal saat melahirkan, maka tidak akan membawa dosa sedikitpun. Didalam kubur akan mendapat taman indah yang merupakan bagian dari taman surga. Allah memberikan pahala kepadanya sama dengan pahala seribu orang yang melaksanakan ibadah Haji dan Umrah, dan seribu malaikat memohonkan ampunan baginya hingga hari kiamat

§  Saat seorang istri melayani suaminya selama sehari semalam dengan rasa senang serta ikhlas, maka Allah akan menganpuni dosa-dosanya serta memakaikan pakaian padanya di hari kiamat berupa pakaian yang serba hijau, dan menetapkan baginya setiap rambut pada tubuhnya seribu kebaikan. Allah pun akan memberikan padanya seratus kali beribadah haji dan umrah.

§  Saat seorang istri tersenyum di hadapan suaminya, maka Allah akan memandangnya dengan pandangan penuh kasih

§  Saat seorang istri membentangkan alas tidur untuk suaminya dengan rasa senang hati, maka para malaikat yang memanggil dari langit menyeru wanita itu agar menyaksikan pahala amalnya, dan Allah mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang.

§  Saat seorang wanita meminyaki dan menyisirkan kepala suami, meminyaki jenggot dan memotong kumisnya, serta memotong kukunya. Maka Allah akan memberi minuman arak yang dikemas indah kepadanya, yang didatangkan dari sungai-sungai surga. Allah pun akan mempermudah sakaratul maut baginya, serta menjadikan kuburnya bagian dari taman surga. Allah pun menetapkan baginya bebas dari siksa neraka serta dapat melintasi shiratal-mustaqim dengan selamat.

Nah.. Ilmu udah ada, motivasi udah OK, tinggal kurang satu. Praktek!!



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Mukjizat Cinta Seorang Istri

Di Madinah ada seorang wanita cantik shalihah lagi bertakwa. Bila malam mulai merayap menuju tengahnya, ia senantiasa bangkit dari tidurnya untuk shalat malam dan bermunajat kepada Allah. Tidak peduli waktu itu musim panas ataupun musim dingin, karena disitulah letak kebahagiaan dan ketentramannya. Yakni pada saat dia khusyu’ berdoa, merendah diri kepada sang Pencipta, dan berpasrah akan hidup dan matinya hanya kepada-Nya.
Dia juga amat rajin berpuasa, meski sedang bepergian. Wajahnya yang cantik makin bersinar oleh cahaya iman dan ketulusan hatinya.
Suatu hari datanglah seorang lelaki untuk meminangnya, konon ia termasuk lelaki yang taat dalam beribadah. Setelah shalat istiharah akhirnya ia menerima pinangan tersebut. Sebagaimana adat kebiasaan setempat, upacara pernikahan dimulai pukul dua belas malam hingga adzan subuh. Namun wanita itu justru meminta selesai akad nikah jam dua belas tepat, ia harus berada di rumah suaminya. Hanya ibunya yang mengetahui rahasia itu. Semua orang ta’jub. Pihak keluarganya sendiri berusaha membujuk wanita itu agar merubah pendiriannya, namun wanita itu tetap pada keinginannya, bahkan ia bersikeras akan membatalkan pernikahan tersebut jika persyaratannya ditolak. Akhirnya walau dengan bersungut pihak keluarga pria menyetujui permintaan sang gadis.
Waktu terus berlalu, tibalah saat yang dinantikan oleh kedua mempelai. Saat yang penuh arti dan mendebarkan bagi siapapun yang akan memulai hidup baru. Saat itu pukul sembilan malam. Doa ‘Barakallahu laka wa baaraka alaika wa jama’a bainakuma fii khairin’ mengalir dari para undangan buat sepasang pengantin baru. Pengantin wanita terlihat begitu cantik. Saat sang suami menemui terpancarlah cahaya dan sinar wudhu dari wajahnya. Duhai wanita yang lebih cantik dari rembulan, sungguh beruntung wahai engkau lelaki, mendapatkan seorang istri yang demikian suci, beriman dan shalihah.

Jam mulai mendekati angka dua belas, sesuai perjanjian saat sang suami akan membawa istri ke rumahnya. Sang suami memegang tangan istrinya sambil berkendara, diiringi ragam perasaan yang bercampur baur menuju rumah baru harapan mereka. Terutama harapan sang istri untuk menjalani kehidupan yang penuh dengan keikhlasan dan ketakwaan kepada Allah.
Setibanya disana, sang istri meminta ijin suaminya untuk memasuki kamar mereka. Kamar yang ia rindukan untuk membangung mimpi-mimpinya. Dimana di kamar itu ibadah akan ditegakkan dan menjadi tempat dimana ia dan suaminya melaksanakan shalat dan ibadah secara bersama-sama. Pandangannya menyisir seluruh ruangan. Tersenyum diiringi pandangan sang suami mengawasi dirinya.
Senyumnya seketika memudar, hatinya begitu tercekat, bola matanya yang bening tertumbuk pada sebatang mandolin yang tergeletak di sudut kamar. Wanita itu nyaris tak percaya. Ini nyatakah atau hanya fatamorgana? Ya Allah, itu nyanyian? Oh bukan, itu adalah alat musik. Pikirannya tiba-tiba menjadi kacau. Bagaimanakah sesungguhnya kebenaran ucapan orang tentang lelaki yang kini telah menjadi suaminya. Oh…segala angan-angannya menjadi hampa, sungguh ia amat terluka. Hampir saja air matanya tumpah. Ia berulang kali mengucap istighfar, Alhamdulillah ‘ala kulli halin. “Ya bagaimanapun yang dihadapi alhamdulillah. Hanya Allah yang Maha Mengetahui segala kegaiban.”
Ia menatap suaminya dengan wajah merah karena rasa malu dan sedih, serta setumpuk rasa kekhawatiran menyelubung. “Ya Allah, aku harus kuat dan tabah, sikap baik kepada suami adalah jalan hidupku.” Kata wanita itu lirih di lubuk hatinya. Wanita itu berharap, Allah akan memberikan hidayah kepada suaminya melalui tangannya.
Mereka mulai terlibat perbincangan, meski masih dibaluti rasa enggan, malu bercampur bahagia. Waktu terus berlalu hingga malam hampir habis. Sang suami bak tersihir oleh pesona kecantikan sang istri. Ia bergumam dalam hati, “Saat ia sudah berganti pakaian, sungguh kecantikannya semakin berkilau. Tak pernah kubayangkan ada wanita secantik ini di dunia ini.” Saat tiba sepertiga malam terakhir, Allah ta’ala mengirimkan rasa kantuk pada suaminya. Dia tak mampu lagi bertahan, akhirnya ia pun tertidur lelap. Hembusan nafasnya begitu teratur. Sang istri segera menyelimutinya dengan selimut tebal, lalu mengecup keningnya dengan lembut. Setelah itu ia segera terdorong rasa rindu kepada mushalla-nya dan bergegas menuju tempat ibadahnya dengan hati melayang.
Sang suami menuturkan, “Entah kenapa aku begitu mengantuk, padahal sebelumnya aku betul-betul ingin begadang. Belum pernah aku tertidur sepulas ini. Sampai akhirnya aku mendapati istriku tidak lagi disampingku. Aku bangkit dengan mata masih mengantuk untuk mencari istriku. Mungkin ia malu sehingga memilih tidur di kamar lain. Aku segera membuka pintu kamar sebelah. Gelap, sepi tak ada suara sama sekali. Aku berjalan perlahan khawatir membangunkannya. Kulihat wajah bersinar di tengah kegelapan, keindahan yang ajaib dan menggetarkan jiwaku. Bukan keindahan fisik, karena ia tengah berada di peraduan ibadahnya. Ya Allah, sungguh ia tidak meninggalkan shalat malamnya termasuk di malam pengantin. Kupertajam penglihatanku. Ia rukuk, sujud dan membaca ayat-ayat panjang. Ia rukuk dan sujud lama sekali. Ia berdiri di hadapan Rabbnya dengan kedua tangan terangkat. Sungguh pemandangan terindah yang pernah kusaksikan. Ia amat cantik dalam kekhusyu’annya, lebih cantik dari saat memakai pakaian pengantin dan pakaian tidurnya. Sungguh kini aku betul-betul mencintainya, dengan seluruh jiwa ragaku.”

Seusai shalat ia memandang ke arah suaminya. Tangannya dengan lembut memegang tangan suaminya dan membelai rambutnya. Masya Allah, subhanallah, sungguh luar biasa wanita ini. Kecintaannya pada sang suami, tak menghilangkan kecintaannya kepada kekasih pertamanya, yakni ibadah. Ya, ibadah kepada Allah, Rabb yang menjadi kekasihnya. Hingga bulan kedepan wanita itu terus melakukan kebiasaannya, sementara sang suami menghabiskan malam-malamnya dengan begadang, memainkan alat-alat musik yang tak ubahnya begadang dan bersenang-senang. Ia membuka pintu dengan perlahan dan mendengar bacaan Al-Qur’an yang demikian syahdu menggugah hati. Dengan perlahan dan hati-hati ia memasuki kamar sebelah. Gelap dan sunyi, ia pertajam penglihatannya dan melihat istrinya tengah berdoa. Ia mendekatinya dengan lembut tapi cepat. Angin sepoi-sepoi membelai wajah sang istri. Ya Allah, perasaan laki-laki itu bagai terguyur. Apalagi saat mendengar istrinya berdoa sambil menangis. Curahan air matanya bagaikan butiran mutiara yang menghiasi wajah cantiknya.
Tubuh lelaki itu bergetar hebat, kemana selama ini ia pergi, meninggalkan istri yang penuh cinta kasih? Sungguh jauh berbeda dengan istrinya, antara jiwa yang bergelimang dosa dengan jiwa gemerlap di taman kenikmatan, di hadapan Rabbnya.

Lelaki itu menangis, air matanya tak mampu tertahan. Sesaat kemudian adzan subuh. Lelaki itu memohon ampun atas dosa-dosanya selama ini, ia lantas menunaikan shalat subuh dengan kehusyuan yang belum pernah dilakukan seumur hidupnya.
Inilah buah dari doa wanita shalihah yang selalu memohonkan kebaikan untuk sang suami, sang pendamping hidup.
Beberapa tahun kemudian, segala wujud pertobatan lelaki itu mengalir dalam bentuk ceramah, khutbah, dan nasihat yang tersampaikan oleh lisannya. Ya lelaki itu kini telah menjadi da’i besar di kota Madinah.
Memang benar, wanita shalihah adalah harta karun yang amat berharga dan termahal bagi seorang lelaki bertakwa. Bagi seorang suami, istri shalihah merupakan permata hidupnya yang tak ternilai dan “bukan permata biasa”.

(Dari kumpulan kisah nyata, Abdur Razak bin Al Mubarak)
Sumber: Oaseimani.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Sepenggal Khitbah untuk Seorang Akhwat

Semilir angin berhembus di kesunyian. Sunyi yang kuharapkan akan memberikan ketenangan dalam membuat suatu keputusan. Sungguh sangat sulit mengambil keputusan itu. Bahkan mungkin takkan mampu ku penuhi permintaan itu. Ku lihat dan ku baca lagi.

“Ukhti, sekiranya tidak merepotkan Anti, sudilah Ukh memilihkan buat saya perhiasan dunia yang akan menggenapkan dien saya. Pasangan yang akan menghantarkan dan menyertai saya hingga ke jannah-Nya !”

Sejenak ku alihkan pandanganku dari untaian tulisan itu. Sunyi mulai menepi berganti gemersik dedaunan seolah ingin memberikan satu jawaban. Segenap pikiran mulai ku curahkan, mencoba mencari jawaban dari setiap kata yang ia tuliskan.

“Afwan, mungkin kedatangan surat ini cukup mengagetkan Anti. Bisa jadi pula ukhti memandang prosedur seperti ini kurang tepat. Tapi, ukh sendiri mungkin tahu bagaimana fisik murobbiku saat ini. Astagfirullah, bukan maksud saya memandang lemah semangat beliau karena fisik. Tapi kecelakaan lalu-lintas yang dialami beliau sebulan lalu menyebabkan saya tidak tega untuk meminta pertolongannya saat ini. Sedangkan saya butuh keputusan segera karena alhamdulillah saya mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi ke luar negeri dalam tahun ini. Ukhti teman lama yang sudah saya kenal, jadi kepada ukhtilah saya percaya dan berani meminta bantuan.”

Akhi…ya saya bisa memahami apa yang akhi rasakan. Tapi bukan karena keberatan memberi bantuan. Bukan pula karena ketidakpercayaan saya pada akhi. Ada hal lain yang sulit dimengerti. Entah kenapa akhir-akhir ini perasaanku ada yang berbeda. Ya Allah…, kenapa hati ini senantiasa bergetar ketika mendengar namanya. Bukankah selayaknya getaran ini muncul ketika mendengar nama-Mu?

Ku simpan kembali secarik kertas yang memberi bekas di hatiku. Ada luka. Kenapa bukan kepadaku, kenapa malah minta bantuanku? Ingin rasanya aku berikan secarik kertas tersebut pada murobiyahku. Angan melayang membayangkan indahnya tawaran murobiyah untukku. Sungguh…kan kuterima tanpa syarat!. Astaghfirullah…ada apa ini?

Sudah seminggu surat tersebut mengendap di kamarku. Hampir setiap saat kubaca tapi tak pernah sanggup ku jawab. Keegoisanku tetap bertahan. Aku tak rela jika mutiara hati yang telah lama bersemi ku tawarkan pada orang lain. Sungguh aku ingin memilikinya sendiri. Hanya untukku.

Surat kedua ? Hatiku berdegup keras menerima surat ini. Perlahan ku buka dan ku baca.

“Puji syukur saya panjatkan pada Ilahi Robbi. Ukhti, setelah beberapa lama berfikir keras, akhirnya ada satu penyesalan. Sungguh penyesalan yang sangat besar. Afwan, semoga ukhti belum mendapatkan bidadari yang ku inginkan. Saya cabut kembali permintaan surat pertama. Sungguh saya minta maaf. Mohon Ukh tidak marah atau kecewa atas kelancangan surat tersebut.”

Akhi, tak ada sedikitpun kemarahanku padamu. Ia hanyalah harapan yang kian padam. Perisai-perisai diri ini semakin pecah karena resah akan lepasnya sang panah. Panah yang ku harap tertancap pada diriku. Tepat di atas ulu hatiku yang telah lama memendam rindu. Rindu untuk bersatu yang tak pernah berani ku tawarkan padamu. Bukanlah engkau yang bersalah, tetapi akulah yang terlalu egois mengutamakan perasaanku.

***


“Nisa, kenapa sih akhir-akhir ini kami kelihatan tidak fokus?“ Anis teman liqoku tiba-tiba bertanya heran, „kamu banyak melamun akhir-akhir ini!“

“Mmm…eh tidak, tidak apa-apa.“ Jawabku pelan.

“Nisa sayang, kita sudah lama berteman. Hmm, nyaris lima tahun semenjak masuk kuliah dulu. Di majelis kholaqoh ini pula kita disatukan. Kasih sayang Allah telah menjadikan kita sudah seperti saudara. Jadi jika ada masalah, seandainya itu baik buat kamu, saya siap menjadi tempat curahan segenap isi hatimu!”.

Deras air mengalir dalam kegundahan hatiku. Tak terbendung dalam diriku sehingga menetes keluar di antara kedua mataku. Aku menunduk tak berdaya.

“Jika itu berat buat ukhti, marilah kita pikul sama-sama beban itu!“ satu ketegasan tawaran terlontar lagi di mulut sahabatku. Sungguh iman telah menjadikan kita seperti saudara, “Silahkan ukh, saya siap menjadi pendengar yang baik!“

“Anis, beban berat ini tak pantas disandang oleh orang lain karena ini hanyalah penyakit hati. Sungguh malu saya ini tatkala orang lain disibukkan dengan perjuangan-perjuangan dakwah, sedang aku memikirkan hal-hal yang rendah!“

“Sayang, sekecil atau sebesar apapun masalah, semuanya bisa merusak jalan dakwah jika tidak dianggap sebagai bagian dari dakwah!“ tatapan tajam Nisa menusuk ulu hatiku.

“Sampaikanlah apa masalahmu, jika malu anggaplah aku ini cermin sehingga engkau merasa bebas mencurahkan isi hatimu, bukankan kamu bilang kalau kamu suka berbicara sendiri di depan cermin?“

“Jazakillah ukh, rahmat Allah semoga senantiasa menyertaimu!“ Jawabku.

Seraya menatap lembaran mushaf di depan kami, akhirnya aku ceritakan keadaan yang menimpaku saat ini. Anis hanya terdiam dan kadang-kadang mengangguk-angguk sambil mengusap-usap punggungku sehingga membuatku nyaman untuk bercerita.

***
Dua minggu telah berlalu. Hari ini kami mengadakan pengajian gabungan. Alhamdulillah, ini biasanya momen yang paling aku tunggu karena saya bisa bertemu dengan rekan-rekan pengajian lainnya. Biasanya dalam pengajian tersebut, posisi duduk teman satu kelompok liqo’ dipisahkan dengan alasan supaya kami lebih berbaur dengan kelompok lain.

Pengajian gabungan kali ini diisi oleh murobbiyahku sendiri, Teh Nizma. Ada hal yang lebih menarik dari pengajian gabungan kali ini, yaitu tema yang diangkat adalah „Menjadi Bidadari“. Entah kenapa setiap ada tema yang berkaitan dengan materi merah jambu, semua akhwat selalu antusias mengikutinya. Mungkin memang sudah masanya.

Sebagai sosok murobbiyah yang sekaligus ibu rumah tangga, dalam penyampaian materi ini Teh Nizma terlihat terampil sekali. Alur materi mengalir lancar dan mudah dimengerti. Kadang diselingi canda yang membuat kami semakin antusias mendengarkannya.

Seperti biasa setelah selesai materi, sesi berikutnya adalah tanya jawab. Banyak sekali yang mengajukan pertanyaan. Dari sekian banyak pertanyaan tersebut, ada satu pertanyaan yang menggelitik pikiranku.

“Teh, hehe…afwan, kadang ada keinginan dalam diri saya untuk menawarkan diri agar dinikahi kepada ikhwan yang benar-benar saya cintai. Apakah hal ini merupakan perbuatan yang tercela mengingat kita berposisi sebagai seorang wanita?” tanya penanya tersebut penuh percaya diri. Kontan saja pertanyaan ini membuat peserta lainnya saling melirik dan tersenyum simpul penuh makna. Ada juga yang mengangguk-angguk tanpa sadar seolah-olah dirinyalah yang bertanya. Aku pun memberikan reaksi berbeda. Bingung dan malu. Entah kenapa aku merasakan bahwa akulah sang penanya yang sebenarnya.

***
“Hmm…silahkan cari, adakah hukum yang melarang seorang akhwat untuk nembak duluan?“ Mba Nizma balik bertanya.

“Eh…hmm…ya…nggak ada sih, atau…eh nggak tahu deh Mbak, hehe!“ Jawab si penanya kelihatan gugup.

Kutengok sosok penanya tersebut. Ya ampun, ternyata Anis yang menanyakan hal itu. Kenapa sosok pendiam itu berani bertanya hal seperti itu? Apa dia memang punya niat demikian, atau…entahlah.

“Adekku sekalian, jika penawaran diri seorang wanita untuk dinikahi oleh laki-laki yang soleh merupakan suatu kehinaan, maka tidak akan pernah ada penawaran diri dari seorang Ummahatul Mukminin, Siti Khadijah, untuk dinikahi oleh Rasulullah SAW melalui perantaranya saat itu. Bukankah dia ini sosok wanita yang mulia? Atau kita menganggap diri kita lebih mulia dari wanita ahli jannah seperti beliau?“ tegas sekali Mba Nizma menjawab pertanyaan tersebut.

“Kita tengok kisah lain, Maimunah Binti Harits. Dia datang menemui Nabi SAW, masuk Islam dan meminta agar Rasullullah menikahinya. Akibatnya, banyaklah orang Makkah merasa terdorong untuk merima Islam dan nabi SAW. Bukankah itu juga merupakan tindakan yang cerdas dan mulia? Padahal saat itu usia beliau adalah 36 tahun sedangkan Rasulullah 60 tahun!”

Semua peserta kelihatan manggut-manggut tanda setuju.

“Jika ada diantara adek-adek yang malu melakukannya sendiri, insya Allah, teteh siap menampungnya!“ canda Teh Nizma sambil tersenyum penuh makna, “atau jika malu sama teteh, silahkan minta pada orang tuanya masing-masing untuk dijodohkan sama orang yang didambakan. Insya Allah, orang tua pun tidak akan pernah hina jika dia menawarkan putrinya sendiri kepada seorang laki-laki yang sholeh. Bukankah Umar Bin Khattab melakukan hal yang sama untuk putrinya, Hafsah, sehingga putri beliau menjadi seorang istri bagi baginda yang mulai Rasulullah SAW.“

Tatapan Teh Nizma berputar ke seluruh peserta.

“Selama prosedur penawarnya dilakukan dengan baik dan tata cara yang benar, tentu saja tidak ada larangan sama sekali untuk melakukan hal itu.“

Situasi mendadak hening. Semuanya terlihat merenung. Hanya senyum simpul yang semakin mengembang yang nampak di wajah Teh Nizma.

Entah kenapa, tiba-tiba saja dalam diriku muncul tekad yang kuat untuk mengutarakan permasalahanku pada Teh Nizma. Sungguh, aku ingin menawarkan diriku pada seorang Bidadara pujangga hatiku. Aku tidak akan pernah merasa malu. Ini lebih baik daripada aku menyesal seumur hidupku.

Setelah pengajian berakhir, kucoba untuk menghampiri Teh Nizma yang saat itu masih dikerubuti oleh teman-teman yang masih memberikan pertanyaan tambahan. Ada kecemburuan di hatiku melihat keberanian dan keterbukaan teman-teman terhadap murobbiyah pribadiku. Seandainya itu aku, sahutku pelan sambil melamun.

***
“Nisa, tolong jangan pulang dulu ya sebentar, saya ada perlu!“ teriak Mba Nizma agak keras memotong lamunanku.

“Oh….iya Mba!” jawabku setengah berteriak juga karena saat itu situasinya masih agak rebut oleh teman-teman yang salam-salaman sebelum pulang.

Akhirnya, tinggal kami berdua yang masih berada di Masjid ini. Dengan sedikit keraguan, aku pun mulai membuka pembicaraan sama Teh Nizma.

“Afwan Teh, …sebenarnya saya juga ada perlu sama teteh. Begini,…eh tapi silahkan teteh saja dulu!“

“Loh, kenapa? Silahkan Nisa aja dulu!“

“Ah engga deh, silahkan teteh dulu!“

“Baiklah kalau begitu, Nisa, di antara anak binaan teteh, masih ada dua orang yang belum menikah, hanya kamu dan Anis!“

Deg, jantungku berdegup keras mendengar kata-kata ini.

“Kalau Anis sebenarnya sudah beberapa bulan yang lalu menyatakan diri siap untuk menikah. Bahkan katanya dengan siapapun asal laki-lakinya sholeh, dia siap untuk menjadi pendamping hidupnya. Yah bisa dimengerti sih kondisi dia. Dia anak paling besar di keluarganya. Sementara dua adiknya yang perempuan sudah menikah. Jadi mungkin kriteria yang benar-benar ditonjolkannya adalah kesholehan laki-laki calonnya. Tapi, insya Allah, tentu saja teteh tidak akan mengabaikan hal-hal lainnya.“

Aku hanya manggut-manggut mendengar penjelasan murobbiyahku itu.

“Nah teteh sama sekali bukan bermaksud mendesak kamu. Sungguh teteh hanya ingin mengetahui sikap kamu mengenai hal ini.“ Lanjut Teh Nizma.

“Enggak apa-apa kok teh. Insya Allah, saya mengerti kondisi ini.“

***
“Begini, sebenarnya teteh mendapatkan seorang calon suami yang insya Allah kita sama-sama mengetahui bagaimana perjuangan beliau dalam dakwah ini. Sosok laki-laki yang mampu berprestasi di kampusnya walau dirinya benar-benar disibukkan dalam aktifitas dakwah.“ Terang Teh Nizma. Aku pun hanya terdiam menjadi pendengar yang baik sambil menebak-nebak sosok yang dimaksud.

“Sebenarnya sosok laki-laki tersebut sudah ditawarkan ke Anis tiga minggu yang lalu. Saat itu dia bilang akan mempertimbangkannya dan minta waktu selama satu minggu. Tapi dari sorot matanya terlihat ada binar-binar kegembiraan yang luar biasa. Namun entah kenapa satu minggu kemudian tiba-tiba saja dia menolaknya. Nah, sekarang tinggal Nisa anak binaan teteh yang belum nikah. Jika tidak bersedia, saya akan coba berinteraksi dengan murobbiyah yang lain, bagaimana?”

Aku berfikir keras mendengar tawaran tersebut. Sebenarnya aku sendiri saat ini tidak mau ditawari oleh orang lain. Bahkan oleh murobbiyah atau orang tuaku sendiri. Sungguh hatiku saat ini tidak bisa menerima ikhwan lain selain teman lamaku. Si penulis surat yang tak pernah mampu ku jawab. Dialah yang senantiasa mengisi ruang hatiku.

“Bagaimana ukh, kalau berminat, saya akan menunjukan biodata berikut foto dari yang bersangkutan sekarang?“ tanya Teh Nizma.

“Mmm…sebenarnya begini, afwan…saya sudah…eh, nggak, …” aku benar-benar kebingungan untuk menyampaikan hal itu.

“Baik, kalau belum siap juga tidak apa-apa kok.” Senyuman tersungging di bibir Teh Nizma.

“Eh maksud saya begini teh. Boleh nggak saya melihat biodatanya sekarang?” tanyaku konyol.

“Wah, Anis ini gimana sih, kan tadi teteh juga bilang memang mau diberikan sekarang, aneh juga ya!” Jawabah Teh Nizma yang membuatku semakin gugup.

Satu lembar amplop putih dikeluarkan dari tas hitam Teh Nizma. Dia serahkan amplop tersebut disertai dengan tatapannya yang tajam ke arahku. Dengan tangan bergetar, kuterima amplop itu.

“Silahkan mau dibuka di sini atau di rumah juga tidak apa-apa!”

***
“Eh nggak teh, di sini saja.” Jawabku. Sengaja aku tidak ingin menundanya karena saat ini juga keinginanku begitu menggebu untuk memberitahukan calon pilihanku sendiri.

Tanganku semakin bergetar ketika perlahan amplop tersebut kubuka. Kebetulan yang kubaca adalan baris terakhir dari tulisan pemberi amplop.

Pasangan yang diinginkan adalah sesosok calon bidadari yang akan menghantarkan dan menyertaiku hingga jannah-Nya.

Sebelum sempat kubaca bagian-bagian lainnya, tiba-tiba ada satu lembar foto yang jatuh tepat dipangkuanku.

Ya Rabb! subhanallah…! Sungguh tiada kata-kata yang keluar saat itu kecuali pujian agung atas-Mu. Foto tersebut adalah sosok yang ku impikan selama ini.

“Bagaimana Ukh?” Tanya Teh Rizma.

Aku tidak mampu menjawab. Hanya uraian air mata syukur yang kian deras mengalir.

“Ingat loh Ukh, diamnya seorang gadis itu tanda setuju!” Teh Nizma semakin menggodaku,

”Sebenarnya ikhwan yang bersangkutan sudah mengetahui seminggu yang lalu mengenai siapa calon akhwat yang akan menerima amplop ini. Ketika itu, tanpa kami duga, ikhwan tersebut langsung bersujud sambil menangis dia berdoa pelan. Sepertinya dia sangat berharap tuh!“

Aku semakin memaku. Diam dalam uraian air mata. Perlahan ku buka bagian atas biodata tersebut. Di sana tertulis suatu harapan dan tawaran;

Sepenggal khitbah buat akhwatfillah

Rabb!!..Aku langsung tersujud. Rasa syukur ini begitu membucah. Sehingga tak cukup rasanya bibir ini memuji-Mu. Di tempat suci ini, aku bersujud pada-Mu sebagai rasa syukur atas nikmat yang tiada pernah mampu kami ukur.

“Robbi auzi’nii an asykura ni’matakallatii an’amta ´alayya wa’alaa waa lidayya wa an-a’mala shaalihan tardhaahu wa adkhilnii birohmatika fii ´ibaadikashshaalihiin, amin.”

Ditulis oleh Yudhie andriyana dengan editan judul dan kata seperlunya.
Sumber: oaseimani.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Memilih Pasangan Hidup

"Guru ... saya ingin bertanya bagaimana cara menemukan pasangan hidup ? Bisakah membantu saya?"tanya seorang murid kepada gurunya di suatu ketika.
Gurunya diam sesaat kemudian menjawab ..." Itu pertanyaan yang gampang - gampang susah "
Pemuda itu di buat bingung oleh jawaban gurunya
" Begini ... coba kamu lihat ke depan, banyak sekali rumput disana ... coba kamu berjalan kesana
tapi jangan berjalan mundur, tetap berjalan lurus ke depan, ketika berjalan coba kamu temukan sehelai rumput yang paling indah kemudian berikan kepada saya .. tapi hanya sehelai rumput "Pinta Sang guru kepada murid.
Pemuda itu berjalan menyusuri padang rumput yang luas. Dalam perjalanan itu dia menemukan sehelai rumput yang indah namun tidak di ambilnya karena dia berfikir akan menemukan yang lebih indah. dan tanpa pemuda itu sadari, ia telah sampai di akhir padang rumput. Pada akhirnya dia mengambil sehelai rumput yang paling indah yang ada di sekitarnya kemudian kembali ke gurunya
"Ini Guru" Ucap pemuda itu sambil menyodorkan sehelai rumput yang ia ambil
"Saya tidak melihat ada yang spesial pada rumput yang ada di tanganmu " kata Sang guru
"Dalam perjalanan saya menyusuri padang rumput tadi, saya menemukan beberapa helai rumput yang indah, namun saya berfikir saya akan menemukan yang lebih indah dalam perjalanan saya. Tetapi tanpa saya sadari saya telah berada di akhir padang rumput dan kemudian saya mengambil sehelai rumput yang paling indah yang ada di akhir padang rumput itu karena guru melarang saya untuk kembali."jelas pemuda itu pada gurunya.
Guru menjawab dengan tersenyum " Itulah yang terjadi di kehidupan nyata "
* Rumput andaikan orang - orang yang ada di sekitarmu
* Rumput yang indah bagaikan orang yang menarik perhatianmu
* Padang rumput bagaikan waktu
 
"Dalam mencari pasangan hidup, jangan selalu membandingkan dan berharap bahwa ada yang lebih baik. Karena dengan melakukan itu ... kamu telah membuang buang waktu ... dan ingat Waktu Tidak Pernah Kembali "

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS