KITA semua pasti ikut merasa prihatin atas nasib yang dialami siswa
sekolah dasar AL dan kedua orangtuanya Siami serta Widodo. Karena
sikap jujur mereka untuk menyatakan ketidakbenaran atas pelaksanaan
ujian nasional, malah mereka akhirnya dinyatakan bersalah.
Orangtua AL dianggap mencoreng nama baik sekolah. Para orangtua yang
lain menyalahkan orangtua AL yang mempersoalkan adanya permintaan guru
sekolah yang memerintahkan AL membagi jawaban ujian nasional kepada
murid-murid yang lain.
Ini persoalan mendasar yang tidak bisa dianggap enteng. Betapa
nilai-nilai kejujuran sudah begitu terpuruknya pada bangsa ini. Kita
tidak lagi bisa membedakan antara yang benar dan yang salah, yang baik
dan yang buruk.
 Nilai sepertinya sudah terbalik-balik pada bangsa ini. Orang yang
salah bisa menjadi benar, sementara orang yang benar bisa dianggap
salah. Itu bukan hanya terjadi pada kasus di Gadelsari Barat,
Surabaya, tetapi sudah menjadi praktik umum yang kita lihat setiap
hari.

Ketika kita sedang berada dalam kekuasaan, seringkali kita tidak
menangkap ketidakadilan seperti itu. Seakan-akan itu hanya sebuah
persoalan kecil yang tidak penting dan tidak memiliki makna apa pun.
Namun ketika kemudian merasakan sendiri ketidakadilan itu, maka bisa
terasalah arti sebuah kebaikan, arti sebuah kebenaran, arti sebuah
kejujuran.

Itulah yang pasti dirasakan oleh Adang Daradjatun. Ketika masih
menjabat sebagai polisi, menjadi Wakil Kepala Kepolisian RI, ia tidak
terlalu peduli atas ketidakadilan yang terjadi. Ketika para pelaku
korupsi kabur ke luar negeri, tidak terdorong keinginan untuk
memerintahkan anggota polisi untuk menangkap mereka.
Kini ia merasa ketidakadilan itu, ketika istrinya Nunun Nurbaeti
dipersangkakan ikut terlibat dalam kasus suap pada pemilihan Deputi
Gubernur Senior Bank Indonesia. Adang berteriak keras ketika istrinya
ditetapkan sebagai tersangka, dicabut paspornya, dan dimintakan kepada
Interpol untuk ditangkap.
Dalam wawancaranya dengan Metrotv, Adang tidak bisa menerima atas
ketidakadilan yang ia rasakan. Bagaimana istrinya ditetapkan sebagai
tersangka dan dicabut paspornya, sementara begitu banyak koruptor yang
kabur ke luar negeri sejak bertahun-tahun lalu, namun hingga kini
tidak pernah juga dicabut paspornya.
Adang menegaskan bahwa dirinya tidak akan tinggal diam. Meski bukan
dalam arti melakukan perlawanan total, dirinya akan membuka semua
ketidakberesan yang terjadi. Ia tidak akan membiarkan istrinya
dijadikan korban dari sebuah ketidakbenaran.
Adang beruntung masih tercatat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat
dari Partai Keadilan Sejahtera. Sebagai polisi bintang tiga, pasti
masih banyak anggota polisi yang akan membantu dirinya melawan
ketidakadilan itu.
Namun tidak demikian nasibnya Saimi dan Widodo. Mereka bukanlah
siapa-siapa. Mereka hanya rakyat biasa yang mencoba menegakkan nilai
kejujuran. Namun ia harus tersingkir dari lingkungannya, yang tidak
bisa menerima sikap jujurnya.
Adakah orang yang membela Saimi dan Widodo? Adakah mereka yang peduli
terhadap AL? Tidak ada sama sekali. Mereka dibiarkan menghadapi
kejamnya kehidupan di tengah bangsa yang sedang kehilangan nilai
kebaikan.
Seharusnya pemerintah tampil untuk menggunakan momentum ini
mengajarkan kembali pentingnya arti sebuah kejujuran, pentingnya
sebuah keadilan. Tampil untuk menjadikan sosok Saimi dan Widodo
sebagai simbol kejujuran, bukan malah membiarkan mereka menjadi korban
dari ketidakbenaran.
Bahkan Presiden, Menteri Pendidikan Nasional, Gubernur Jawa Timur,
Wali Kota Surabaya seharusnya bersimpati kepada nasib yang dialami
Saimi dan Widodo. Bukan hanya duduk diam, menonton ketidakbenaran itu
terus terjadi, sehingga tidak ada pembelajaran yang bisa dipetik oleh
bangsa ini.
Ketika semua pemimpin diam, maka orang tidak akan berani untuk bicara
kebenaran, bicara kejujuran. Mereka akan menelan semua ketidakbenaran
itu, kalau pun dirasakan bertentangan dengan nilai kebajikan yang
mereka yakini. Sebab, ternyata bicara kebenaran, bicara kejujuran di
negeri ini malah dianggap sebagai sebuah kesalahan.
Ketika memberikan kuliah di depan generasi muda, sebenarnya ada
pelajaran berharga yang diberikan Presiden. Bahwa sebagai pemimpin
kita tidak boleh berkompromi untuk hal-hal yang prinsipiil seperti
dalam hal etika atau nilai-nilai. Yang boleh dikompromikan hanyalah
taktik atau strategis dalam mencapai tujuan.
Kasus AL, Saimi, dan Widodo seharusnya dipakai untuk melaksanakan
kebajikan yang disampaikan. Saimi dan Widodo merupakan sosok langka di
negeri yang hanya berorientasi kepada hasil, tanpa memedulikan proses.
Saimi dan Widodo mengajarkan kepada kita semua bahwa kejujuran itu
masih ada di negeri ini.

Sumber: pembacaasmanadia@ yahoogroups. com & metrotvnews. com

0 komentar:

Posting Komentar

Thank you very much for your comment.

Runtuhnya Nilai Kejujuran

KITA semua pasti ikut merasa prihatin atas nasib yang dialami siswa
sekolah dasar AL dan kedua orangtuanya Siami serta Widodo. Karena
sikap jujur mereka untuk menyatakan ketidakbenaran atas pelaksanaan
ujian nasional, malah mereka akhirnya dinyatakan bersalah.
Orangtua AL dianggap mencoreng nama baik sekolah. Para orangtua yang
lain menyalahkan orangtua AL yang mempersoalkan adanya permintaan guru
sekolah yang memerintahkan AL membagi jawaban ujian nasional kepada
murid-murid yang lain.
Ini persoalan mendasar yang tidak bisa dianggap enteng. Betapa
nilai-nilai kejujuran sudah begitu terpuruknya pada bangsa ini. Kita
tidak lagi bisa membedakan antara yang benar dan yang salah, yang baik
dan yang buruk.
 Nilai sepertinya sudah terbalik-balik pada bangsa ini. Orang yang
salah bisa menjadi benar, sementara orang yang benar bisa dianggap
salah. Itu bukan hanya terjadi pada kasus di Gadelsari Barat,
Surabaya, tetapi sudah menjadi praktik umum yang kita lihat setiap
hari.

Ketika kita sedang berada dalam kekuasaan, seringkali kita tidak
menangkap ketidakadilan seperti itu. Seakan-akan itu hanya sebuah
persoalan kecil yang tidak penting dan tidak memiliki makna apa pun.
Namun ketika kemudian merasakan sendiri ketidakadilan itu, maka bisa
terasalah arti sebuah kebaikan, arti sebuah kebenaran, arti sebuah
kejujuran.

Itulah yang pasti dirasakan oleh Adang Daradjatun. Ketika masih
menjabat sebagai polisi, menjadi Wakil Kepala Kepolisian RI, ia tidak
terlalu peduli atas ketidakadilan yang terjadi. Ketika para pelaku
korupsi kabur ke luar negeri, tidak terdorong keinginan untuk
memerintahkan anggota polisi untuk menangkap mereka.
Kini ia merasa ketidakadilan itu, ketika istrinya Nunun Nurbaeti
dipersangkakan ikut terlibat dalam kasus suap pada pemilihan Deputi
Gubernur Senior Bank Indonesia. Adang berteriak keras ketika istrinya
ditetapkan sebagai tersangka, dicabut paspornya, dan dimintakan kepada
Interpol untuk ditangkap.
Dalam wawancaranya dengan Metrotv, Adang tidak bisa menerima atas
ketidakadilan yang ia rasakan. Bagaimana istrinya ditetapkan sebagai
tersangka dan dicabut paspornya, sementara begitu banyak koruptor yang
kabur ke luar negeri sejak bertahun-tahun lalu, namun hingga kini
tidak pernah juga dicabut paspornya.
Adang menegaskan bahwa dirinya tidak akan tinggal diam. Meski bukan
dalam arti melakukan perlawanan total, dirinya akan membuka semua
ketidakberesan yang terjadi. Ia tidak akan membiarkan istrinya
dijadikan korban dari sebuah ketidakbenaran.
Adang beruntung masih tercatat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat
dari Partai Keadilan Sejahtera. Sebagai polisi bintang tiga, pasti
masih banyak anggota polisi yang akan membantu dirinya melawan
ketidakadilan itu.
Namun tidak demikian nasibnya Saimi dan Widodo. Mereka bukanlah
siapa-siapa. Mereka hanya rakyat biasa yang mencoba menegakkan nilai
kejujuran. Namun ia harus tersingkir dari lingkungannya, yang tidak
bisa menerima sikap jujurnya.
Adakah orang yang membela Saimi dan Widodo? Adakah mereka yang peduli
terhadap AL? Tidak ada sama sekali. Mereka dibiarkan menghadapi
kejamnya kehidupan di tengah bangsa yang sedang kehilangan nilai
kebaikan.
Seharusnya pemerintah tampil untuk menggunakan momentum ini
mengajarkan kembali pentingnya arti sebuah kejujuran, pentingnya
sebuah keadilan. Tampil untuk menjadikan sosok Saimi dan Widodo
sebagai simbol kejujuran, bukan malah membiarkan mereka menjadi korban
dari ketidakbenaran.
Bahkan Presiden, Menteri Pendidikan Nasional, Gubernur Jawa Timur,
Wali Kota Surabaya seharusnya bersimpati kepada nasib yang dialami
Saimi dan Widodo. Bukan hanya duduk diam, menonton ketidakbenaran itu
terus terjadi, sehingga tidak ada pembelajaran yang bisa dipetik oleh
bangsa ini.
Ketika semua pemimpin diam, maka orang tidak akan berani untuk bicara
kebenaran, bicara kejujuran. Mereka akan menelan semua ketidakbenaran
itu, kalau pun dirasakan bertentangan dengan nilai kebajikan yang
mereka yakini. Sebab, ternyata bicara kebenaran, bicara kejujuran di
negeri ini malah dianggap sebagai sebuah kesalahan.
Ketika memberikan kuliah di depan generasi muda, sebenarnya ada
pelajaran berharga yang diberikan Presiden. Bahwa sebagai pemimpin
kita tidak boleh berkompromi untuk hal-hal yang prinsipiil seperti
dalam hal etika atau nilai-nilai. Yang boleh dikompromikan hanyalah
taktik atau strategis dalam mencapai tujuan.
Kasus AL, Saimi, dan Widodo seharusnya dipakai untuk melaksanakan
kebajikan yang disampaikan. Saimi dan Widodo merupakan sosok langka di
negeri yang hanya berorientasi kepada hasil, tanpa memedulikan proses.
Saimi dan Widodo mengajarkan kepada kita semua bahwa kejujuran itu
masih ada di negeri ini.

Sumber: pembacaasmanadia@ yahoogroups. com & metrotvnews. com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

Thank you very much for your comment.