Mintalah Firdaus yang paling tinggi!!!
-Rasulullah, Shallallaahu ‘Alaihi wa sallam-

Jika hidup adalah sebuah fungsi waktu, maka bagi seorang mukmin nilai puncaknya harus diraih dalam grafik di ujung kanan. Kematian. Di sanalah harus dicitakan sebuah akhir yang setinggi-tingginya. Apapun yang kau minta, mintalah pada Allah yang tertinggi. Surga pun bertingkatan. Maka mintalah yang paling tinggi. Firdaus. Maka dalam hal mati, ambil pilihan yang tertinggi untuk menjadi cita dan rencana. Syahid. Ah...Betapa indah dan menggetarkannya satu kata ini.
Di dalam perjalanan kita meniti hidup, terkadang kita didera rasa ragu dan bimbang tentang sang cita tinggi. Jika ’Abdullah ibn Rawahah bimbang karena menyangkut pasukan yang dipimpinnya, kita kadang bimbang oleh alasan yang lebih mendasar, pantaskah kita meraihnya?

Seorang kawan pernah berucap, ”Ya. Cita kita memang syahid akhi...Tetapi inilah yang kukhawatirkan, maksiat. Kenaksiatan yang kulakukan tentu telah menjauhkanku darinya. Bila selangkah aku durhaka pada Allah, rasanya aku terlempar jauh dari dakian tangga menujunya. Cita syahid itu begitu tinggi, semakin kita bermaksiat pada Allah, dia jadi semakin tinggi. Tak tergapai.”
”Betul akhi”, jawab saya. ”Tapi sebenarnya bukan ia yang semakin tinggi. Kitalah yang terjerembab ke dalam lubang berlumpur yang kita gali sendiri. Maksiat itu. Saat itulah kita yang tersuruk jadi makin jauh dari cita yang tinggi.”
Bagaimana agar kita merasa pantas kembali? ’Abdullah ibn Rawahah mengajari kita untuk mengulang-ulang cita tinggi itu dala ucapan, terutama pada diri sendiri. Agar apa? Agar sang jiwa ingat dan tidak lupa. Agar ia terteguhkan menjadi yakin kembali. Agar ia menjadi sebuah doa yang makhluk-makhluk mulia mengaminkannya. Panggillah selalu yang masih terasa tak tergapai, agar ia mendekat. Teringat saya akan sebuah ayat yang selalu memberi harap.
” Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada pula yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak mengubah janjinya.”(Q.S. Al Ahzaab[33]:23)
Namun sering kali cita untuk meraih syahid beresiko berubah menjadi hawa nafsu. Maka berhati-hatilah saudaraku. Ketika citamu tinggi, angin akan lebih dingin, menusuk-nusuk tulang, membekukan darah, lalu berbisik padamu dalam hipotermia yang tak tertolong, ”Cukup. Pahalamu sudah banyak.”
Itu di antara yang disadari oleh Khalid ibn Al- Walid, pedang Allah yang senantiasa terhunus. Maka ketika ia dipecat oleh ’Umar dari jabatann panglima, kata-katanya begitu indah, ”Semoga Allah merahmati ’Umar yang telah membebaskanku dari beban ini. Ketika masih menjadi panglima, aku tak hanya memikirkan diriku, tetapi juga pasukanku. Ini membuatku harus memilih untuk selalu tetap hidup dan meraih kemenangan bagi agama Allah. Kini aku adalah prajurit biasa. Aku bebas meraih cita-citaku untuk syahid!”
Maka dialah Khalid, yang tiap melewati gunung dan lembah selalu memikirkan strategi pertempuran apa yang akan dipakainya beserta segala kemungkinan lain. Maka dialah Khalid, yang 13 kali berganti pedang karena patah dalam Perang Mu’tah saking dasyatnya ia memimpin 3000 pasukannya melawan 200.000 legiun Romawi. Maka dialah Khalid yang kudanya membelah barisan musuh untuk memberi jalan pasukannya, lalu menukar-nukar posisi prajurit agar musuh mengira pasukannya mendapat bala bantuan baru. Dan dialah Khalid yang cita-citanya tetaplah syahid. Ia tak terbawa nafsu untuk tergesa meraihnya ketika dia masih harus bertanggungjawab bukan hanya sebagai pribadi, tapi sebagai panglima. Dan Khalid pun mendapatkan syahidnya meski dia wafat di atas tempat tidur.
Subhanallah...Kehidupan para sahabat Rasul selalu memukau kita. Dan Hasan Ismail Al Hudhaibi, Mursyid ’Aam kedua Al Ikhwan Al Muslimin begitu menghayati indahnya kesabaran dalam nada yang sama. Kesabaran untuk tidak terburu nafsu. Ketika Gamal ’Abdel Nasser akhirnya mrngkudeta presiden Muhammad Naguib, Al Hudhaibi dan hampir sejuta kader organisasi da’wah yang dipimpinnya boyongan memenuhi penjara-penjara Mesir. Berbagai siksaan yang mengerikan menjadi menu harian mereka. Bayangkan sejenak algojo pencambuk yang sampai kelelahan mencambuk, kuku dan bulu yang dicopoti satu-satu, kursi listrik, rendaman air beku, hingga anjing-anjing ganas yang berhari-hari tidak diberi makan.
Di tengah derita mendera bertubu itu, suatu hari beberapa pemuda berbisik padanya. ”ustadz, sesungguhnya jumlah kita besar. Dan bukankah menjdi kemuliaan di sisi Allah jika kita membela agamaNya?” Yah, mereka merencanakan pemberontakan bersama di penjara-penjara itu. Dan apa kata lelaki berusia 70 tahun yang matanya menyala penuh semangat itu?
” Demi Allah! Satu nyawa ikhwan aktivis da’wah jauh lebih berharga dari pada seribu kepala Abdel Nasser!!!Bersabarlah saudaraku...jangan sampai hawa nafsu mengalahkan kalian lalu para durjana itu menemukan alasan untuk menghabisi da’wah dan semua kader da’wah hingga akar-akarnya. Jangan! Demi Allah, bersabarlah! Satu nyawa jauh lebih berharga dari pada seribu kepala Abdel Nasser!.
Betapapun syahid adalah cita tertinggi, tapi ia tak boleh menjadi hawa nafsu. Karena hardikan Allah di hari kiamat ditujukan pertama-tama pada tiga orang yang menjadi pejuang di jalan mereka masing-masing. Seorang ahli Al Qur’an, seorang dermawan akbar dan seorang mujahid yang zhahirnya mati syahid. Di hadapan Allah mereka haru menjawab tanya, ”Untuk apakah semua itu kau lakukan?”
Sang Qari’ menjawab ”kau karuniakan padaku ilmu lalu kuajarkan ia kepada manusia, semata-mata kuharap ridhaMu..”
Sang dermawan menjawab, ” kau karuniakan padaku harta dan kekayaan, lalu kunafkahkan ia di jalanMu, semata-mata kuharap ridhaMu..”
Sang mujahid menjawab” kau karuniakan padaku kehidupan yang baik, lalu kunafkahkan jiwaku di jalanMu, semata-mata kuharap ridhaMu..”
Dan Allah berkata, ”Dusta!Dusta!Dusta!”
”kau ingin disebut ’Alim, dan kau telah dipuji-puji! Kau ingin dipanggil dermawan, dan itu telah kau dengar! Kau ingin dikenang sebagai pahlawan, dan keberanianmu telah termasyhur di mana-mana!“ Alangkah menyesal, alangkah ruginya.
“Bekerja keras lagi kepayahan, memasuki neraka yang sangat panas!“ (Q.S. Al Ghaasyiyah [88]:3-4).
Inilah uniknya jalan cinta para pejuang. Setinggi apapun, cita tak boleh bergeser jadi hawa....

(Dikutip dari buku ”jalan cinta para Pejuang”- salim A. Fillah)

0 komentar:

Posting Komentar

Thank you very much for your comment.

Panggil yang Tak Tergapai Agar Mendekat

Mintalah Firdaus yang paling tinggi!!!
-Rasulullah, Shallallaahu ‘Alaihi wa sallam-

Jika hidup adalah sebuah fungsi waktu, maka bagi seorang mukmin nilai puncaknya harus diraih dalam grafik di ujung kanan. Kematian. Di sanalah harus dicitakan sebuah akhir yang setinggi-tingginya. Apapun yang kau minta, mintalah pada Allah yang tertinggi. Surga pun bertingkatan. Maka mintalah yang paling tinggi. Firdaus. Maka dalam hal mati, ambil pilihan yang tertinggi untuk menjadi cita dan rencana. Syahid. Ah...Betapa indah dan menggetarkannya satu kata ini.
Di dalam perjalanan kita meniti hidup, terkadang kita didera rasa ragu dan bimbang tentang sang cita tinggi. Jika ’Abdullah ibn Rawahah bimbang karena menyangkut pasukan yang dipimpinnya, kita kadang bimbang oleh alasan yang lebih mendasar, pantaskah kita meraihnya?

Seorang kawan pernah berucap, ”Ya. Cita kita memang syahid akhi...Tetapi inilah yang kukhawatirkan, maksiat. Kenaksiatan yang kulakukan tentu telah menjauhkanku darinya. Bila selangkah aku durhaka pada Allah, rasanya aku terlempar jauh dari dakian tangga menujunya. Cita syahid itu begitu tinggi, semakin kita bermaksiat pada Allah, dia jadi semakin tinggi. Tak tergapai.”
”Betul akhi”, jawab saya. ”Tapi sebenarnya bukan ia yang semakin tinggi. Kitalah yang terjerembab ke dalam lubang berlumpur yang kita gali sendiri. Maksiat itu. Saat itulah kita yang tersuruk jadi makin jauh dari cita yang tinggi.”
Bagaimana agar kita merasa pantas kembali? ’Abdullah ibn Rawahah mengajari kita untuk mengulang-ulang cita tinggi itu dala ucapan, terutama pada diri sendiri. Agar apa? Agar sang jiwa ingat dan tidak lupa. Agar ia terteguhkan menjadi yakin kembali. Agar ia menjadi sebuah doa yang makhluk-makhluk mulia mengaminkannya. Panggillah selalu yang masih terasa tak tergapai, agar ia mendekat. Teringat saya akan sebuah ayat yang selalu memberi harap.
” Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada pula yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak mengubah janjinya.”(Q.S. Al Ahzaab[33]:23)
Namun sering kali cita untuk meraih syahid beresiko berubah menjadi hawa nafsu. Maka berhati-hatilah saudaraku. Ketika citamu tinggi, angin akan lebih dingin, menusuk-nusuk tulang, membekukan darah, lalu berbisik padamu dalam hipotermia yang tak tertolong, ”Cukup. Pahalamu sudah banyak.”
Itu di antara yang disadari oleh Khalid ibn Al- Walid, pedang Allah yang senantiasa terhunus. Maka ketika ia dipecat oleh ’Umar dari jabatann panglima, kata-katanya begitu indah, ”Semoga Allah merahmati ’Umar yang telah membebaskanku dari beban ini. Ketika masih menjadi panglima, aku tak hanya memikirkan diriku, tetapi juga pasukanku. Ini membuatku harus memilih untuk selalu tetap hidup dan meraih kemenangan bagi agama Allah. Kini aku adalah prajurit biasa. Aku bebas meraih cita-citaku untuk syahid!”
Maka dialah Khalid, yang tiap melewati gunung dan lembah selalu memikirkan strategi pertempuran apa yang akan dipakainya beserta segala kemungkinan lain. Maka dialah Khalid, yang 13 kali berganti pedang karena patah dalam Perang Mu’tah saking dasyatnya ia memimpin 3000 pasukannya melawan 200.000 legiun Romawi. Maka dialah Khalid yang kudanya membelah barisan musuh untuk memberi jalan pasukannya, lalu menukar-nukar posisi prajurit agar musuh mengira pasukannya mendapat bala bantuan baru. Dan dialah Khalid yang cita-citanya tetaplah syahid. Ia tak terbawa nafsu untuk tergesa meraihnya ketika dia masih harus bertanggungjawab bukan hanya sebagai pribadi, tapi sebagai panglima. Dan Khalid pun mendapatkan syahidnya meski dia wafat di atas tempat tidur.
Subhanallah...Kehidupan para sahabat Rasul selalu memukau kita. Dan Hasan Ismail Al Hudhaibi, Mursyid ’Aam kedua Al Ikhwan Al Muslimin begitu menghayati indahnya kesabaran dalam nada yang sama. Kesabaran untuk tidak terburu nafsu. Ketika Gamal ’Abdel Nasser akhirnya mrngkudeta presiden Muhammad Naguib, Al Hudhaibi dan hampir sejuta kader organisasi da’wah yang dipimpinnya boyongan memenuhi penjara-penjara Mesir. Berbagai siksaan yang mengerikan menjadi menu harian mereka. Bayangkan sejenak algojo pencambuk yang sampai kelelahan mencambuk, kuku dan bulu yang dicopoti satu-satu, kursi listrik, rendaman air beku, hingga anjing-anjing ganas yang berhari-hari tidak diberi makan.
Di tengah derita mendera bertubu itu, suatu hari beberapa pemuda berbisik padanya. ”ustadz, sesungguhnya jumlah kita besar. Dan bukankah menjdi kemuliaan di sisi Allah jika kita membela agamaNya?” Yah, mereka merencanakan pemberontakan bersama di penjara-penjara itu. Dan apa kata lelaki berusia 70 tahun yang matanya menyala penuh semangat itu?
” Demi Allah! Satu nyawa ikhwan aktivis da’wah jauh lebih berharga dari pada seribu kepala Abdel Nasser!!!Bersabarlah saudaraku...jangan sampai hawa nafsu mengalahkan kalian lalu para durjana itu menemukan alasan untuk menghabisi da’wah dan semua kader da’wah hingga akar-akarnya. Jangan! Demi Allah, bersabarlah! Satu nyawa jauh lebih berharga dari pada seribu kepala Abdel Nasser!.
Betapapun syahid adalah cita tertinggi, tapi ia tak boleh menjadi hawa nafsu. Karena hardikan Allah di hari kiamat ditujukan pertama-tama pada tiga orang yang menjadi pejuang di jalan mereka masing-masing. Seorang ahli Al Qur’an, seorang dermawan akbar dan seorang mujahid yang zhahirnya mati syahid. Di hadapan Allah mereka haru menjawab tanya, ”Untuk apakah semua itu kau lakukan?”
Sang Qari’ menjawab ”kau karuniakan padaku ilmu lalu kuajarkan ia kepada manusia, semata-mata kuharap ridhaMu..”
Sang dermawan menjawab, ” kau karuniakan padaku harta dan kekayaan, lalu kunafkahkan ia di jalanMu, semata-mata kuharap ridhaMu..”
Sang mujahid menjawab” kau karuniakan padaku kehidupan yang baik, lalu kunafkahkan jiwaku di jalanMu, semata-mata kuharap ridhaMu..”
Dan Allah berkata, ”Dusta!Dusta!Dusta!”
”kau ingin disebut ’Alim, dan kau telah dipuji-puji! Kau ingin dipanggil dermawan, dan itu telah kau dengar! Kau ingin dikenang sebagai pahlawan, dan keberanianmu telah termasyhur di mana-mana!“ Alangkah menyesal, alangkah ruginya.
“Bekerja keras lagi kepayahan, memasuki neraka yang sangat panas!“ (Q.S. Al Ghaasyiyah [88]:3-4).
Inilah uniknya jalan cinta para pejuang. Setinggi apapun, cita tak boleh bergeser jadi hawa....

(Dikutip dari buku ”jalan cinta para Pejuang”- salim A. Fillah)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

Thank you very much for your comment.