Dalam makna memberi itu posisi kita sangat kuat:
Kita tak perlu kecewa atau terhina dengan penolakan,
atau lemah atau melankolik saat kasih kandas karena takdirNYA
Sebab di sini kita justru sedang melakukan
 sebuah “pekerjaan jiwa”yang besar dan agung:
MENCINTAI.
~M. Anis Matta~

“Ya Rasulallah”, kata Umar perlahan, “Aku mencintaimu seperti kucintai diriku sendiri.”
Beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam tersenyum. “Tidak wahai ‘Umar. Engkau harus mencintaiku melebihi cintamu pada diri dan keluargamu.”
“Ya Rasulallah”, kata ‘Umar, “Mulai saat ini engkau lebih kucintai daripada apapun di dunia ini.”
“Nah, begitulah wahai ‘Umar.”
Membaca kisah ini, membuat saya takjub dan bertanya. Sebegitu mudahkah bagi seorang ‘Umar bin Khaththab menata ulang cintanya dalam sekejap? Sebegitu midajkah cinta diri digeser ke bawah untuk memberi ruang lebih besar bagi cinta pada sang Nabi? Dalam waktu yang sangat singkat. Hanya sekejap. Ah, alangkah indahnya jika saya pun bisa begitu.
Bagi saya tak semudah itu. Cinta berhubungan dengan ketertawanan hati dan perasaan yang tak gampang dialihkan. Tetapi ‘Umar bisa. Dan mengapa ia bisa?
Ternyata cinta bagi ‘Umar adalah kata kerja. Maka menata ulang cinta baginya hanyalah menata ulang kerja dan amalnya dalam mencintai. Ia tak berumit-rumit dengan apa yang ada dalam hati. Biarlah hati menjadi makmum bagi kerja-kerja cinta yang dilakukan oleh amal shalihnya.
Dari sini kita bisa memahami apa yang dikeluhkan oleh Erich Fromm. “Cinta merupakan seni”, tulisnya dalam The Art of Loving. “Maka cinta memerlukan pengetahuan dan perjuangan. Sayang, pada masa ini cinta lebih merupakan masalah dicintai (to be loved), bukan mencinta (to love) atau kemampuan untuk mencintai.”
Ya. Persoalan cinta menjadi tak sederhana, karena cinta dalam latar pikir kita adalah persoalan ‘dicintai’. Itu adalah sesuatu yang di luar kendali jiwa kita. Kita dicintai atau tidak bukanlah suatu hal yang bisa kita paksakan. Dunia di luar sana punya perasannya sendiri, yang kadang secara aneh memutuskan siapa yang layak dan tak layak dicintai.
Maka mari kita sederhanakan persoalannya. Bahwa cinta, sebagaimana ‘Úmar memahaminya adalah persoalan berusaha untuk mencintai. Bahwa cinta bukanlah gejolak hati yang datang sendiri melihat paras ayu atau jenggot rapi. Bahwa, sebagaimana cinta kepada Allah yang tak serta merta mengisi hati kita, setiap cinta memang harus diupayakan. Dengan kerja, dengan pengorbanan, dengan air mata dan bahkan darah.
Di sini kalimat seorang suami yang suatu hari mengadu untuk bercerai menjadi tak relevan, “Aku sudah tak mencintainya lagi!”Justru karena kau tak mencintainya lagi, maka cintailah dia. Karena cinta adalah kata kerja. Lakukanlah kerja jiwa dan raga untuk mencintainya. Kerjakan cinta  yang ku maksudkan agar kau temukan cinta yang kau maksudkan. Karena cinta adalah kata kerja.
Di sini kalimat seorang istri yang menerima seorang lelaki karena keterpaksaan juga tak mempan. “Aku tidak mencintainya.”Engkau bisa memilih. Untuk mencintai atau membenci. Dan dalam keadaan kini, mencintai adalah pilihan yang lebih masuk akal. Bukan perasaan itu. Mungkin ia memang belum hadir. Yang kumaksudkan adalah sebuah kerja untuk mencintai. Karena cinta adalah kata kerja.
Mencintai Allah, mencintai RasullNYA, mencintai jihad di jalanNya juga berjalan di atas logika yang sama. Ia melampaui batas-batas perasaan suka dan tak suka. Mungkin ia sulit. Atau kalah dibandingkan kecenderungan hati untuk mencintai ayah, anak, saudara, istri, simpanan kekayaan, perniagaan, dan kediaman-kediaman indah. Tetapi ia mungkin dan masuk akal untuk digapai. Karena bukan ‘perasaan cinta’yang dituntut di sini. Melainkan ‘kerja cinta’.
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”(Q.S Al Baqarah: 216)
Dalam jihad, cinta menjadi sederhana. Bukan karena kita suka melihat darah tumpah, bukan karena kita menyukai anyir peperangan. Perasaan kita boleh tetap membencinya. Tapi cinta adalah sebuah kerja seperti yang terucap dalam bai’at para shahabat, “Kami siap untuk mendengar dan taat, baik dalam keadaan rela maupun malas, baik dalam suka maupun duka, dalam keadaan rela maupun terpaksa.”Inilah kerja untuk mencintai. Karena kita beriman pada Allah, karena kita percaya pada ilmuNya, dan percaya pada kebaikan-kebaikan yang dijanjikanNya.
Di jalan cinta para pejuang, cinta adalah kata kerja. Biarlah perasaan hati menjadi makmum bagi kerja-kerja cinta yang dilakukan oleh amal shalih kita.

Mentaatinya adalah niat baik dari hati yang tulus
Alirannya adalah kerja yang terus menerus

Dikutip dari  buku Jalan Cinta Para Pejuang-Salim A. Fillah

0 komentar:

Posting Komentar

Thank you very much for your comment.

Cinta adalah Sebuah Kata Kerja



Dalam makna memberi itu posisi kita sangat kuat:
Kita tak perlu kecewa atau terhina dengan penolakan,
atau lemah atau melankolik saat kasih kandas karena takdirNYA
Sebab di sini kita justru sedang melakukan
 sebuah “pekerjaan jiwa”yang besar dan agung:
MENCINTAI.
~M. Anis Matta~

“Ya Rasulallah”, kata Umar perlahan, “Aku mencintaimu seperti kucintai diriku sendiri.”
Beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam tersenyum. “Tidak wahai ‘Umar. Engkau harus mencintaiku melebihi cintamu pada diri dan keluargamu.”
“Ya Rasulallah”, kata ‘Umar, “Mulai saat ini engkau lebih kucintai daripada apapun di dunia ini.”
“Nah, begitulah wahai ‘Umar.”
Membaca kisah ini, membuat saya takjub dan bertanya. Sebegitu mudahkah bagi seorang ‘Umar bin Khaththab menata ulang cintanya dalam sekejap? Sebegitu midajkah cinta diri digeser ke bawah untuk memberi ruang lebih besar bagi cinta pada sang Nabi? Dalam waktu yang sangat singkat. Hanya sekejap. Ah, alangkah indahnya jika saya pun bisa begitu.
Bagi saya tak semudah itu. Cinta berhubungan dengan ketertawanan hati dan perasaan yang tak gampang dialihkan. Tetapi ‘Umar bisa. Dan mengapa ia bisa?
Ternyata cinta bagi ‘Umar adalah kata kerja. Maka menata ulang cinta baginya hanyalah menata ulang kerja dan amalnya dalam mencintai. Ia tak berumit-rumit dengan apa yang ada dalam hati. Biarlah hati menjadi makmum bagi kerja-kerja cinta yang dilakukan oleh amal shalihnya.
Dari sini kita bisa memahami apa yang dikeluhkan oleh Erich Fromm. “Cinta merupakan seni”, tulisnya dalam The Art of Loving. “Maka cinta memerlukan pengetahuan dan perjuangan. Sayang, pada masa ini cinta lebih merupakan masalah dicintai (to be loved), bukan mencinta (to love) atau kemampuan untuk mencintai.”
Ya. Persoalan cinta menjadi tak sederhana, karena cinta dalam latar pikir kita adalah persoalan ‘dicintai’. Itu adalah sesuatu yang di luar kendali jiwa kita. Kita dicintai atau tidak bukanlah suatu hal yang bisa kita paksakan. Dunia di luar sana punya perasannya sendiri, yang kadang secara aneh memutuskan siapa yang layak dan tak layak dicintai.
Maka mari kita sederhanakan persoalannya. Bahwa cinta, sebagaimana ‘Úmar memahaminya adalah persoalan berusaha untuk mencintai. Bahwa cinta bukanlah gejolak hati yang datang sendiri melihat paras ayu atau jenggot rapi. Bahwa, sebagaimana cinta kepada Allah yang tak serta merta mengisi hati kita, setiap cinta memang harus diupayakan. Dengan kerja, dengan pengorbanan, dengan air mata dan bahkan darah.
Di sini kalimat seorang suami yang suatu hari mengadu untuk bercerai menjadi tak relevan, “Aku sudah tak mencintainya lagi!”Justru karena kau tak mencintainya lagi, maka cintailah dia. Karena cinta adalah kata kerja. Lakukanlah kerja jiwa dan raga untuk mencintainya. Kerjakan cinta  yang ku maksudkan agar kau temukan cinta yang kau maksudkan. Karena cinta adalah kata kerja.
Di sini kalimat seorang istri yang menerima seorang lelaki karena keterpaksaan juga tak mempan. “Aku tidak mencintainya.”Engkau bisa memilih. Untuk mencintai atau membenci. Dan dalam keadaan kini, mencintai adalah pilihan yang lebih masuk akal. Bukan perasaan itu. Mungkin ia memang belum hadir. Yang kumaksudkan adalah sebuah kerja untuk mencintai. Karena cinta adalah kata kerja.
Mencintai Allah, mencintai RasullNYA, mencintai jihad di jalanNya juga berjalan di atas logika yang sama. Ia melampaui batas-batas perasaan suka dan tak suka. Mungkin ia sulit. Atau kalah dibandingkan kecenderungan hati untuk mencintai ayah, anak, saudara, istri, simpanan kekayaan, perniagaan, dan kediaman-kediaman indah. Tetapi ia mungkin dan masuk akal untuk digapai. Karena bukan ‘perasaan cinta’yang dituntut di sini. Melainkan ‘kerja cinta’.
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”(Q.S Al Baqarah: 216)
Dalam jihad, cinta menjadi sederhana. Bukan karena kita suka melihat darah tumpah, bukan karena kita menyukai anyir peperangan. Perasaan kita boleh tetap membencinya. Tapi cinta adalah sebuah kerja seperti yang terucap dalam bai’at para shahabat, “Kami siap untuk mendengar dan taat, baik dalam keadaan rela maupun malas, baik dalam suka maupun duka, dalam keadaan rela maupun terpaksa.”Inilah kerja untuk mencintai. Karena kita beriman pada Allah, karena kita percaya pada ilmuNya, dan percaya pada kebaikan-kebaikan yang dijanjikanNya.
Di jalan cinta para pejuang, cinta adalah kata kerja. Biarlah perasaan hati menjadi makmum bagi kerja-kerja cinta yang dilakukan oleh amal shalih kita.

Mentaatinya adalah niat baik dari hati yang tulus
Alirannya adalah kerja yang terus menerus

Dikutip dari  buku Jalan Cinta Para Pejuang-Salim A. Fillah

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

Thank you very much for your comment.