Aku bukan tak sabar, hanya tak ingin menanti
Karena berani memutuskan adalah juga kesabaran
Karena terkadang penantian
Membuka pintu-pintu syaitan

“ Apakah kesabaran itu adaa batasnya?”, begitu tanya seorang akhwat dalam sebuah forum diskusi. Bagi akhwat tersebut “ kesabaran berarti menunggu dan terus menunggu. Padahal ta’aruf ini telah berjalan begitu lama. Sangat lama. Ikhwan itu selalu mengulur dan mengulur. Meminta waktu dan meminta waktu. Terus begitu.”
Nah, apakah kesabaran ada batasnya?
Ada tiga kategori sabar yang dituntunkan Al Qur’an. Ketiganya adalah sabar dalam menghadapi musibah dan ujian, sabar dalam ketaatan dan sabar dalam menjauhi kemaksiatan.
Sabar dalam menghadapi musibah dan ujian, adalah sebagaimana yang Allah firmankan:
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-ornag yang sabar. Orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan ,” Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun.” (Q.S. Al Baqarah [2]: 155-156).


Yang ke dua, sabar dalam ketaatan kepada Allah. Contohnya adalah apa yang difirmankan oleh Allah dalam Q.S. Thaahaa[20]:132):
Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.”
Yang ke tiga, sabar dalam menjauhi kedurhakaan. Ini kita lihat, kta dengar dan kita hayati dari kisah sang pemuda tampan Nabi Yusuf Alaihisalam.
Yusuf berkata, “ Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai dari pada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dariku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk memenuhi keinginan mereka dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (Q.S. Yusuf[12]: 33).
Maka seringkali, kesabaran sejati tak selalu berarti menanti. Suatu saat, seorang lelaki melamar seorang wanita yang hendak dinikahinya. “ lamaran ini kami terima”, begitu jawaban sang wali. “ Tetapi kami harap pernikahannya masih dua atau tiga tahun lagi.”
Alangkah lama penantian baginya. Dan akan terasa lebih lama ketika sang pemuda menyadari bahwa hukum menikah baginya bukan lagi sunnah. Tapi wajib. Dia sudah begitu takut terjerumus dalam apa-apa yang dibenci oleh Allah. Di tangannya kini telah ada penghasilan meski belum memadai. Maka ia wajib menikah.
Ia takut. Ia merasa tak sanggup untuk menanti. Dan ia memilih untuk memutuskan. Meski berat. Baginya, di situlah kesabaran. Bukan pada penantian yang membuka pintu-pintu syaitan. Dengan menyebut Asma Allah, sang pemuda menguatkan hati. Dan suaranya, meski agak serak, menggambarkan sebuah keteguhan hati.
“Urusan saya sekarang adalah segera menikah. Belum soal dengan siapa, kalau saya ditakdirkan Allah tak mendapatkan seorang calon mertua di sini, pada saat ini, insyaallah saya akan mencarinya di tempat lain. Dimulai sejak perjalanan pulang nanti, insyaallah.”
Semua mata terbelalak. Semua telinga sedikit merona dibuatnya. Untunglah kemudian pemuda tersebut dapat menjelaskan prinsipnya. Alhamdulillah semua memahaminya. Dia memilih sebuah kesabaran. Menjaga diri untuk selalu taat kepada Allah dan menjauhi maksiat. Di tengahnya, sebuah resiko menghujam dalam. Resiko tak jadi menikah dengan wanita yang telah dipilihnya. Dan ini diambil demi kemenangan yang lebih besar. Sabar.
Di jalan cinta para pejuang, sabar adalah lautan tak bertepi. Tapi menunggu itu ada batasnya. Batas itu adalah garis yang nemisahkan ketaatan kepada Alllah dengan pintu-pintu peluang untuk mendurhakainya. Dan di situlah kita menemui sebuah kesabaran sejati. Bersabarlah untuk taat, untuk tak durhaka, untuk menghadapi ujian-ujian yang jatuh menimpa di antara keduanya.
(dituliskan dari buku “ jalan Cinta Para Pejuang”-Salim A. Fillah dengan beberapa perubahan kata)

0 komentar:

Posting Komentar

Thank you very much for your comment.

Bersabar Untuk Tak Menanti

Aku bukan tak sabar, hanya tak ingin menanti
Karena berani memutuskan adalah juga kesabaran
Karena terkadang penantian
Membuka pintu-pintu syaitan

“ Apakah kesabaran itu adaa batasnya?”, begitu tanya seorang akhwat dalam sebuah forum diskusi. Bagi akhwat tersebut “ kesabaran berarti menunggu dan terus menunggu. Padahal ta’aruf ini telah berjalan begitu lama. Sangat lama. Ikhwan itu selalu mengulur dan mengulur. Meminta waktu dan meminta waktu. Terus begitu.”
Nah, apakah kesabaran ada batasnya?
Ada tiga kategori sabar yang dituntunkan Al Qur’an. Ketiganya adalah sabar dalam menghadapi musibah dan ujian, sabar dalam ketaatan dan sabar dalam menjauhi kemaksiatan.
Sabar dalam menghadapi musibah dan ujian, adalah sebagaimana yang Allah firmankan:
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-ornag yang sabar. Orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan ,” Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun.” (Q.S. Al Baqarah [2]: 155-156).


Yang ke dua, sabar dalam ketaatan kepada Allah. Contohnya adalah apa yang difirmankan oleh Allah dalam Q.S. Thaahaa[20]:132):
Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.”
Yang ke tiga, sabar dalam menjauhi kedurhakaan. Ini kita lihat, kta dengar dan kita hayati dari kisah sang pemuda tampan Nabi Yusuf Alaihisalam.
Yusuf berkata, “ Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai dari pada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dariku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk memenuhi keinginan mereka dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (Q.S. Yusuf[12]: 33).
Maka seringkali, kesabaran sejati tak selalu berarti menanti. Suatu saat, seorang lelaki melamar seorang wanita yang hendak dinikahinya. “ lamaran ini kami terima”, begitu jawaban sang wali. “ Tetapi kami harap pernikahannya masih dua atau tiga tahun lagi.”
Alangkah lama penantian baginya. Dan akan terasa lebih lama ketika sang pemuda menyadari bahwa hukum menikah baginya bukan lagi sunnah. Tapi wajib. Dia sudah begitu takut terjerumus dalam apa-apa yang dibenci oleh Allah. Di tangannya kini telah ada penghasilan meski belum memadai. Maka ia wajib menikah.
Ia takut. Ia merasa tak sanggup untuk menanti. Dan ia memilih untuk memutuskan. Meski berat. Baginya, di situlah kesabaran. Bukan pada penantian yang membuka pintu-pintu syaitan. Dengan menyebut Asma Allah, sang pemuda menguatkan hati. Dan suaranya, meski agak serak, menggambarkan sebuah keteguhan hati.
“Urusan saya sekarang adalah segera menikah. Belum soal dengan siapa, kalau saya ditakdirkan Allah tak mendapatkan seorang calon mertua di sini, pada saat ini, insyaallah saya akan mencarinya di tempat lain. Dimulai sejak perjalanan pulang nanti, insyaallah.”
Semua mata terbelalak. Semua telinga sedikit merona dibuatnya. Untunglah kemudian pemuda tersebut dapat menjelaskan prinsipnya. Alhamdulillah semua memahaminya. Dia memilih sebuah kesabaran. Menjaga diri untuk selalu taat kepada Allah dan menjauhi maksiat. Di tengahnya, sebuah resiko menghujam dalam. Resiko tak jadi menikah dengan wanita yang telah dipilihnya. Dan ini diambil demi kemenangan yang lebih besar. Sabar.
Di jalan cinta para pejuang, sabar adalah lautan tak bertepi. Tapi menunggu itu ada batasnya. Batas itu adalah garis yang nemisahkan ketaatan kepada Alllah dengan pintu-pintu peluang untuk mendurhakainya. Dan di situlah kita menemui sebuah kesabaran sejati. Bersabarlah untuk taat, untuk tak durhaka, untuk menghadapi ujian-ujian yang jatuh menimpa di antara keduanya.
(dituliskan dari buku “ jalan Cinta Para Pejuang”-Salim A. Fillah dengan beberapa perubahan kata)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

Thank you very much for your comment.