Hatiku penuh dengan kata-kata
Karena itu tak kuucapkan sepatah kata pun suara...

-jalaludin Ar Rumi-
Apakah kebahagiaan itu dan apakah ia betul ada? Pertanyaan ini, kata Mihaly Csikszentmihalyi dalam buku Good Business, telah berabad-abad diperdebatkan. Tapi ia belum juga terjawab. Barangkali ia hanyalah nama yang kita sematkan pada kondisi tak tergapai, ketika tiada lagi hal yang kita hasrati. Tetapi ketika tiada lagi hal yang dihasrati, adakah yang membahagiakan?
Begitu menurutnya.
Mari kita koreksi Mihaly Csikszentmihalyi. Apa yang disampaikannya bukanlah konsep kebahagiaan. Melainkan tentang kepuasan. Kondisi tak tergapai, ketika tiada lagi hal yang kita hasrati adalah kepuasan. Bukan kebahagiaan. Kebahagiaan seorang mukmin memang tidak terletak pada kepuasan, tapi pada rasa syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’aalaa.
Dan wahai sahabat, tahukah engkau apa bedanya bersyukur dangan berpuas? Berpuas, bukan kepuasan itu sendiri, adalah kondisi di mana sesorang merasa cukup dengan apa yang ada pada dirinya. Lalu tak ada gairah untuk menggapai yang lebih tinggi. Seringkali orang mengidentifikasi berpuas sebagai bersyukur. Kalimat mereka berbunyi,” Wah mas, saya sudah bersyukur kok seperti ini.” Tetapi betulkah yang demikian itu disebut kesyukuran?


Dan ingatlah tatkalah Rabbmu memaklumkan, “ Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Aku akan menambah nikmat untuk kalian. Dan jika kalian kufur, maka sesungguhnya adzabKu sangat pedih.” (Q.S. Ibrahim [14]:7)
Kita yakin dan mengimani bahwa ketika bersyukur, Allah akan menambahkan lagi nikamatNya untuk kita. Tapi pernahkan kita renungkan sebuah pemahaman terbalik dari ayat ini? Begini, ajukanlah sebuah pertanyaan. “ Apa yang harus dilakukan oleh seorang yang ingin mendapatkan tambahan nikmat dari Allah?” jawabnya, syukur.”
Nah, kalau begitu, siapakah orang yang paling bersemangat mensyukuri nikat Allah? Mereka adalah orang-orang yang ingin menggapai lebih tinggi, meloncat lebih jauh dan menghambur ke pangkuan Allah. Mereka ini, bukanlah orang-orang yang puas hati. Orang yang paling mensyukuri nikmatNya adalah orang yang paling merasa membutuhkanNya, mengahajatkan nikmat-nikmatrNya, lebih tinggi dan makin tinggi lagi.
Tentu kita tidak boleh merancukan makna bersyukur dengan makan qana’ah. Bersyukur adalah amal shalih untuk mendayakan segenap nikmat yang Allah karuniakan untuk menggapai yang lebih tinggi. Maka karunia harta menggegas kita untuk berderma. Agar Allah tambahkan nikmat. Agar kita berinfaq lebih banyak. Begitu seterusnya. Maka karunia ilmu menggegas kita untuk beramal dan mengajar. Agar kita lebih memahami. Lalu ilmu semakin tinggi, pemahaman semakin berbobot. Dan lagi. Dan lagi. Tanpa henti, hingga Allah memanggil kita kembali.
Bersyukur mengajarkan kita tidak berpuas hati dalam meminta pada Ilahi. Terus dan terus. Lagi dan lagi. Lebih banyak dan lebih tinggi. Sang Nabi mengajarkan agar kita tak tanggung dalam meminta kepada Allah. “Jika kalian berharap surga, mintalah Firdaus yang paling tinggi!” Begitu sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Sementara qana’ah adalah perasaan sadar akan kedudukan; siapa Allah dan siapa kita ketika menerima karuniaNya. Qana’ah adalah perasaan yang menuntun kita untuk bersyukur. Saat menerima anugerah dari Allah, kita qana’ah; kita terima dengan penerimaan terbaik, kita dekap dengan erat dan akrab, kita peluk, dan kita cium sepenuh jiwa. Sesudah itu, kita ingin lagi dan lagi; menerima dengan lapang dada, dengan tangan terbuka, dengan segenap hati yang meluapkan cinta. Secara lebih kuat. Secara lebih dasyat. Lebih. Dan lebih lagi. Maka itulah bersyukur.
Terjebak dalam kepuasan hingga tak bergairah untuk meloncat lebih tinggi adalah perangkap gawat. Maka bersyukur bukanlah puas. Bersyukur adalah mendayakan segenap nikmat yang telah Allah karuniakan untuk menggapai yang lebih tinggi. Yang berharta janganlah puas dengan shadaqahnya. Yang berilmu janganlah puas dangan amal dan dakwahnya. Yang bernafas, janganlah puas dengan berbaring dan duduk. Tapi bangkutlah. Berlarilah.
(Dikutib dari buku “ Jalan Dakwah Para Pejuang” – Salim A. Fillah)

0 komentar:

Posting Komentar

Thank you very much for your comment.

Bersyukur, Menggapai Lebih Tinggi

Hatiku penuh dengan kata-kata
Karena itu tak kuucapkan sepatah kata pun suara...

-jalaludin Ar Rumi-
Apakah kebahagiaan itu dan apakah ia betul ada? Pertanyaan ini, kata Mihaly Csikszentmihalyi dalam buku Good Business, telah berabad-abad diperdebatkan. Tapi ia belum juga terjawab. Barangkali ia hanyalah nama yang kita sematkan pada kondisi tak tergapai, ketika tiada lagi hal yang kita hasrati. Tetapi ketika tiada lagi hal yang dihasrati, adakah yang membahagiakan?
Begitu menurutnya.
Mari kita koreksi Mihaly Csikszentmihalyi. Apa yang disampaikannya bukanlah konsep kebahagiaan. Melainkan tentang kepuasan. Kondisi tak tergapai, ketika tiada lagi hal yang kita hasrati adalah kepuasan. Bukan kebahagiaan. Kebahagiaan seorang mukmin memang tidak terletak pada kepuasan, tapi pada rasa syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’aalaa.
Dan wahai sahabat, tahukah engkau apa bedanya bersyukur dangan berpuas? Berpuas, bukan kepuasan itu sendiri, adalah kondisi di mana sesorang merasa cukup dengan apa yang ada pada dirinya. Lalu tak ada gairah untuk menggapai yang lebih tinggi. Seringkali orang mengidentifikasi berpuas sebagai bersyukur. Kalimat mereka berbunyi,” Wah mas, saya sudah bersyukur kok seperti ini.” Tetapi betulkah yang demikian itu disebut kesyukuran?


Dan ingatlah tatkalah Rabbmu memaklumkan, “ Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Aku akan menambah nikmat untuk kalian. Dan jika kalian kufur, maka sesungguhnya adzabKu sangat pedih.” (Q.S. Ibrahim [14]:7)
Kita yakin dan mengimani bahwa ketika bersyukur, Allah akan menambahkan lagi nikamatNya untuk kita. Tapi pernahkan kita renungkan sebuah pemahaman terbalik dari ayat ini? Begini, ajukanlah sebuah pertanyaan. “ Apa yang harus dilakukan oleh seorang yang ingin mendapatkan tambahan nikmat dari Allah?” jawabnya, syukur.”
Nah, kalau begitu, siapakah orang yang paling bersemangat mensyukuri nikat Allah? Mereka adalah orang-orang yang ingin menggapai lebih tinggi, meloncat lebih jauh dan menghambur ke pangkuan Allah. Mereka ini, bukanlah orang-orang yang puas hati. Orang yang paling mensyukuri nikmatNya adalah orang yang paling merasa membutuhkanNya, mengahajatkan nikmat-nikmatrNya, lebih tinggi dan makin tinggi lagi.
Tentu kita tidak boleh merancukan makna bersyukur dengan makan qana’ah. Bersyukur adalah amal shalih untuk mendayakan segenap nikmat yang Allah karuniakan untuk menggapai yang lebih tinggi. Maka karunia harta menggegas kita untuk berderma. Agar Allah tambahkan nikmat. Agar kita berinfaq lebih banyak. Begitu seterusnya. Maka karunia ilmu menggegas kita untuk beramal dan mengajar. Agar kita lebih memahami. Lalu ilmu semakin tinggi, pemahaman semakin berbobot. Dan lagi. Dan lagi. Tanpa henti, hingga Allah memanggil kita kembali.
Bersyukur mengajarkan kita tidak berpuas hati dalam meminta pada Ilahi. Terus dan terus. Lagi dan lagi. Lebih banyak dan lebih tinggi. Sang Nabi mengajarkan agar kita tak tanggung dalam meminta kepada Allah. “Jika kalian berharap surga, mintalah Firdaus yang paling tinggi!” Begitu sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Sementara qana’ah adalah perasaan sadar akan kedudukan; siapa Allah dan siapa kita ketika menerima karuniaNya. Qana’ah adalah perasaan yang menuntun kita untuk bersyukur. Saat menerima anugerah dari Allah, kita qana’ah; kita terima dengan penerimaan terbaik, kita dekap dengan erat dan akrab, kita peluk, dan kita cium sepenuh jiwa. Sesudah itu, kita ingin lagi dan lagi; menerima dengan lapang dada, dengan tangan terbuka, dengan segenap hati yang meluapkan cinta. Secara lebih kuat. Secara lebih dasyat. Lebih. Dan lebih lagi. Maka itulah bersyukur.
Terjebak dalam kepuasan hingga tak bergairah untuk meloncat lebih tinggi adalah perangkap gawat. Maka bersyukur bukanlah puas. Bersyukur adalah mendayakan segenap nikmat yang telah Allah karuniakan untuk menggapai yang lebih tinggi. Yang berharta janganlah puas dengan shadaqahnya. Yang berilmu janganlah puas dangan amal dan dakwahnya. Yang bernafas, janganlah puas dengan berbaring dan duduk. Tapi bangkutlah. Berlarilah.
(Dikutib dari buku “ Jalan Dakwah Para Pejuang” – Salim A. Fillah)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

Thank you very much for your comment.