Suatu ketika, seorang wanita shalat di belakang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dia wanita yang sangat cantik, secantik-cantiknya wanita. Wanita itu sering menempati barisan pertama di shaff jama’ah wanita.
Keberadaan sang wanita membelah sikap para sahabat. Ada sebagian sahabat yang sengaja datang lebih awal dan menempati shaff terdepan agar tidak bisa melihat kecantikan wanita tersebut hingga tidak tergoda. Di pihak lain, ada sebagian sahabat yang sengaja memperlambat datangnya ke masjid agar menempati shaff paling belakang dan bisa mencuri-curi pandang wajah wanita yang cantik tersebut. Ketika ruku’ mereka merenggangkan kedua tangan, menyeksamai kecantikannya melalui celah ketiak mereka.
Kisah ini diriwayatkan oleh Imam pemilik Kitab Sunan yakni Abu Dawud, at Tirmidzi, An Nasa’i dan Ibnu Majah. Imam Al Hakim menshahihkannya menurut syarat Imam Al Bukhari dan Imam Musli. Dan Imam Adz Dzahabi menyepakati penilaian ini.
Inilah sahabat Rasulullah. Inilah generasi terbaik. Di antara mereka juga terdapat ekspresi ketertarikan, keterpesonaan dan rasa yang meremaja. Bahkan ekspresi tersebut berupa sikap “curi-curi pandang’ yang rasanya unik, lucu dan menggelikan karena justru dilakukan saat shalat berjama’ah bersama Rasulullah.


Adalah salah besar ketika kita menilai mereka melulu seperti rahib apalagi seperti malaikat. Mereka pun adalah manusia biasa yang memiliki kecenderungan fithri yang tidak bisa ditipu dan dikelabui. Tetapi kecenderungan itu menjuraikan kemuliaan, karena mereka ridha pada Allah yang mengaturnya. Subhanallah, sekali lagi, mereka adalah manusia.
Maha Suci Allah, Yang Maha Mengerti kecenderungan ini, lalu Ia tidak menghardik mereka dengan kasar, tidak menegur mereka dengan kalimat bernada murka dan tidak memutus tali rahmat dari sisiNya. Cukup Ia sindir mereka dengan kalimat yang begitu halus, santun, mengena dan merasuk ke relung dimana berbagai ketertarikan fithri itu bersemayam.
Dan sesungguhnya Kami telah mengetahui orang-orang yang terdahulu di anatara kalian. Dan Kami mengetahui pula orang-orang yang mengakhirkan diri. (Q.S. Al Hijr[15]: 24).
Kalimat ini menghujam masuk, menukik tajam dan membangkitkan kembali rasa malu, pengendalian diri dan taqwa. Ya, agar rasa-rasa itu setia mendampingi cinta. Dan para sahabat Rasulullah tersebut menjadi guru-guru kita dalam menyadari bahwa cinta harus bersujud di mihrab taat.
Sebagai seorang muslim kita harus menjaga pandangan. Karena yang sebagian adalah hak kita dan yang lain adalah milik syaitan. Kita hendaknya menjaga pendengaran. Karena apa yang masuk ke telinga kita sering kali membentuk bayang-bayang di celah otak. Kita pun harus menjaga indera pembau. Karena syahwat datang melaluinya seringkali tanpa mengetuk pintu. Dan kita juga diperintahkan menjaga kulit dari persentuhan-persentuhan yang tidak diperkenankan. Karenanya kenangan sulit dilupakan. Karena kepala yang ditusuk jarum besi yang menyala adalah lebih baik dari pada menyentuh kulit yang tidak halal bagi kita. Begitu sabda Rasulullah dalam redaksi Imam Ath Thabrani dan Al Baihaqi.
Oleh karenanya, kita menjaga diri atas hubungan-hubungan antarmanusia. Bahwa berbicaranya wanita dan laki-laki memiliki adab-adab tersendiri. Bahwa di antara kata-kata, ada yang dapat berubah menjadi sihir berbahaya. Ketika kata-kata berubah menajdi pembicaraan khusus, maka ia berdenting, meresonansi dawai-dawai syahwat dalam hati. Dekatnya fisik dan panjangnya interaksi tak dianjurkan ketika kita berkomitmen menjaga kesucian diri.
(Diambil dari buku “Jalan Cinta Para Pejuang”-Salim.A. Fillah)

0 komentar:

Posting Komentar

Thank you very much for your comment.

Cinta Bersujud di Mihrab Taat

Suatu ketika, seorang wanita shalat di belakang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dia wanita yang sangat cantik, secantik-cantiknya wanita. Wanita itu sering menempati barisan pertama di shaff jama’ah wanita.
Keberadaan sang wanita membelah sikap para sahabat. Ada sebagian sahabat yang sengaja datang lebih awal dan menempati shaff terdepan agar tidak bisa melihat kecantikan wanita tersebut hingga tidak tergoda. Di pihak lain, ada sebagian sahabat yang sengaja memperlambat datangnya ke masjid agar menempati shaff paling belakang dan bisa mencuri-curi pandang wajah wanita yang cantik tersebut. Ketika ruku’ mereka merenggangkan kedua tangan, menyeksamai kecantikannya melalui celah ketiak mereka.
Kisah ini diriwayatkan oleh Imam pemilik Kitab Sunan yakni Abu Dawud, at Tirmidzi, An Nasa’i dan Ibnu Majah. Imam Al Hakim menshahihkannya menurut syarat Imam Al Bukhari dan Imam Musli. Dan Imam Adz Dzahabi menyepakati penilaian ini.
Inilah sahabat Rasulullah. Inilah generasi terbaik. Di antara mereka juga terdapat ekspresi ketertarikan, keterpesonaan dan rasa yang meremaja. Bahkan ekspresi tersebut berupa sikap “curi-curi pandang’ yang rasanya unik, lucu dan menggelikan karena justru dilakukan saat shalat berjama’ah bersama Rasulullah.


Adalah salah besar ketika kita menilai mereka melulu seperti rahib apalagi seperti malaikat. Mereka pun adalah manusia biasa yang memiliki kecenderungan fithri yang tidak bisa ditipu dan dikelabui. Tetapi kecenderungan itu menjuraikan kemuliaan, karena mereka ridha pada Allah yang mengaturnya. Subhanallah, sekali lagi, mereka adalah manusia.
Maha Suci Allah, Yang Maha Mengerti kecenderungan ini, lalu Ia tidak menghardik mereka dengan kasar, tidak menegur mereka dengan kalimat bernada murka dan tidak memutus tali rahmat dari sisiNya. Cukup Ia sindir mereka dengan kalimat yang begitu halus, santun, mengena dan merasuk ke relung dimana berbagai ketertarikan fithri itu bersemayam.
Dan sesungguhnya Kami telah mengetahui orang-orang yang terdahulu di anatara kalian. Dan Kami mengetahui pula orang-orang yang mengakhirkan diri. (Q.S. Al Hijr[15]: 24).
Kalimat ini menghujam masuk, menukik tajam dan membangkitkan kembali rasa malu, pengendalian diri dan taqwa. Ya, agar rasa-rasa itu setia mendampingi cinta. Dan para sahabat Rasulullah tersebut menjadi guru-guru kita dalam menyadari bahwa cinta harus bersujud di mihrab taat.
Sebagai seorang muslim kita harus menjaga pandangan. Karena yang sebagian adalah hak kita dan yang lain adalah milik syaitan. Kita hendaknya menjaga pendengaran. Karena apa yang masuk ke telinga kita sering kali membentuk bayang-bayang di celah otak. Kita pun harus menjaga indera pembau. Karena syahwat datang melaluinya seringkali tanpa mengetuk pintu. Dan kita juga diperintahkan menjaga kulit dari persentuhan-persentuhan yang tidak diperkenankan. Karenanya kenangan sulit dilupakan. Karena kepala yang ditusuk jarum besi yang menyala adalah lebih baik dari pada menyentuh kulit yang tidak halal bagi kita. Begitu sabda Rasulullah dalam redaksi Imam Ath Thabrani dan Al Baihaqi.
Oleh karenanya, kita menjaga diri atas hubungan-hubungan antarmanusia. Bahwa berbicaranya wanita dan laki-laki memiliki adab-adab tersendiri. Bahwa di antara kata-kata, ada yang dapat berubah menjadi sihir berbahaya. Ketika kata-kata berubah menajdi pembicaraan khusus, maka ia berdenting, meresonansi dawai-dawai syahwat dalam hati. Dekatnya fisik dan panjangnya interaksi tak dianjurkan ketika kita berkomitmen menjaga kesucian diri.
(Diambil dari buku “Jalan Cinta Para Pejuang”-Salim.A. Fillah)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

Thank you very much for your comment.